Jumat, 28 September 2007

Membangun Kepemimpinan Hidup

Apakah kepemimpinan itu bakat yang dibawa sejak lahir atau diciptakan melalui proses pembelajaran? Perdebatan tersebut sebenarnya sudah berakhir dengan kesimpulan bahwa seorang pemimpin harus diciptakan melalui proses pembelajaran, pelatihan, atau pendidikan. Kesimpulan itu punya dalih sangat kuat termasuk salah satunya berupa The Law of Universe bahwa setiap orang akan dinobatkan menjadi pemimpin terlepas ia siap atau tidak siap. Dalam kehidupan anda, yang paling hampir bisa dipastikan, anda akan menjadi pemimpin keluarga.

Setiap orang ditakdirkan menjadi pemimpin meskipun pada saat yang sama setiap orang membutuhkan pemimpin ketika ia harus berhadapan untuk menciptakan solusi hidup di mana kemampuan, keahlian, dan kekuatannya dibatasi oleh sekat yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya sebagai bagian dari komunitas. Tidak saja negara yang diwarnai demontrasi brutal, tetapi institusi keluarga pun jika kepemimpinan tidak ditemukan, maka kesanggupannya hanya melahirkan bayi-bayi biologis tanpa warisan nilai.

Seberat apapun tugas anda sebagai pemimpin, terlepas dari formal - non formalnya atau skala besar - kecilnya, maka yang perlu anda lakukan adalah menciptakan persiapan sempurna menjelang peluang menjadi pemimpin datang. Persiapan adalah bagian dari solusi mental sebelum solusi konkrit harus anda lakukan. Bahkan seringkali peluang apapun baru bisa anda dapatkan setelah anda memiliki persiapan mental yang layak untuk menerimanya. Sayangnya bagi sebagain besar individu terkadang justru peluang yang dikejar habis-habisan sementara persiapan mental tidak dilakukan. Contoh kecil misalnya saja dalam pernikahan. Kenyataannya, faktor yang menjadi tolak ukur bagi suatu pernikahan bukanlah usia atau materi meskipun keduanya syarat mutlak, tetapi tetapi lebih itu adalah persiapan untuk menerima moment tersebut.

Menyangkut masalah persiapan maka pilihan sepenuhnya berada di bawah kontrol anda; apakah anda mempersiapkan diri sebagai pemimpin atau sama sekali tidak mempersiapkannya. Moment tersebut akan menjemput anda dan konsekuensinya tergantung dari pilihan yang anda ciptakan. Karena kepemimpinan hidup berupa achievement, bukan gift, maka yang perlu anda persiapkan adalah melakukan perbaikan kepemimpinan dari dalam diri anda. Tentang bagaimana proses alamiah yang harus anda jalani, ikutilah beberapa langkah berikut:

1. Belajar Siap Dipimpin

Dalam hal kepemimpinan, dunia ini hanya memberikan dua pilihan antara anda dipimpin atau memimpin sesuai dengan kapabilitas, kualitas, dan kekuatan anda. Kekacauan akan segera terjadi ketika anda dipimpin tetapi melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan pemimpin atau sebaliknya.

Untuk menjadi pemimpin, maka anda harus mengawalinya dengan kesiapan untuk mau dipimpin. Dalam organisasi, bawahan yang tidak siap dipimpin akan kehilangan kesempatan emas untuk mempelajari bagaimana kelak ia akan menjadi seorang pemimpin. Seluruh waktu dan energinya dihabiskan hanya untuk menciptakan reaksi-reaksi sesaat yang sia-sia. Di bidang politik seringkali terjadi kepemimpinan yang diraih dengan cara yang melupakan proses kesiapan dipimpin akan berakhir dengan cara yang sama dengan ketika ia mendapatkannya.

Sebelum anda memimpin orang lain, maka wujud dari kesiapan untuk dipimpin adalah begaimana memimpin diri anda (Personal Mastery). Wilayah yang harus anda kuasai adalah self understanding (pemahaman diri) dan self management (pengelolaan diri) yang meliputi perangkat nilai hidup, tujuan hidup, misi hidup anda. Kedua kemampuan tersebut akan mengantarkan anda menuju pola kehidupan beradab dan efektif. Dengan kata lain, self understanding dan self management pada saat anda dipimpin akan menciptakan tradisi hidup sehat di mana fokus adalah tujuan akhir, bukan lagi egoisme posisi jangka pendek tetapi realisasi misi. Jika tujuan akhir anda adalah kemajuan dan kebahagian, maka tinggalkan tradisi "Ngerumpi" tentang begitu jelasnya kesalahan hidup yang dilakukan oleh pemimpin anda sehingga akan menjadikan anda kabur melihat sesuatu yang perlu anda lengkapi untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin.

2. Belajar Mampu Memimpin

Sebutan pemimpin terlepas dari perbedaan definisi, perbedaan status formal dan non-formal, perbedaan strata atau job title-nya, mengarah pada satu pemahaman sebagai sumber solusi suatu urusan. Jadi pemimpin adalah orang yang isi pikirannya berupa solusi bukan masalah yang ia rasakan. Maka syarat mutlak yang bersifat fundamental adalah memiliki paket keahlian dan paket kekuatan. Paket keahlian merujuk pada kualitas personal yang sifatnya internal mulai dari skill, knowledge, attitude, atau lainnya sedangkan paket kekuatan merujuk pada power yang bisa berbentuk kekayaan, networking, atau mungkin kekuatan fisik. Keahlian berguna untuk memimpin kelompok ahli sementara kekuatan berguna untuk memimpin khalayak umum.

Kedua paket tersebut yang menjadikan pemimpin sebagai pemilik suatu urusan bukan lagi menjadi bagiannya, mulai dari urusan pribadi, khalayak, system, atau kiblat hidup orang banyak. Karena sebagai pemilik urusan, maka harga seorang pemimpin senilai dengan harga jumlah orang - orang yang dipimpinnya. Satu Mahatma Gandhi atau satu Soekarno nilainya sama dengan jutaan manusia yang mengkuasakan urusan kehidupan kepadanya.

Di dunia ini tidak ditemukan calon pemimpin yang siap pakai. Tetapi bisa diselesaikan dengan cara belajar mengembangkan diri. Pemimpin yang berhenti mengembangkan keahlian dan kekuatannya maka akan muncul fenomena di mana tantangan kepemimpinan lebih besar dari kapasitasnya sehingga akan cepat sampai pada titik di mana ia harus di-disqualified-kan untuk segera diganti. Mengapa? Karena semua keputusan yang dihasilkan dari kepemimpinannya ibarat bumbu ayam goreng yang hanya dipoleskan pada permukaan sehingga rasanya tidak menyeluruh atau meresap hingga ke dalam daging ayam tersebut.

Setiap orang tua pernah menjadi anak-anak, setiap atasan pernah menjadi bawahan tetapi tidak semua orang tua dan atasan mampu memimpin ketika ia dinobatkan menjadi pemimpin. Banyak alasan mengapa hal itu terjadi yang antara lain karena keputusan kepemimpinannya kehilangan konteks atau keahlian dan kekuatan memimpin yang digunakan sudah tidak lagi berlaku pada zamannya alias sudah kadaluwarsa. Ketika anda memimpin pahamilah isi pikiran anda ketika menjadi bawahan; ketika anda menjadi atasan jangan lantas melupakan bagaimana anda dahulu menjadi bawahan. Selain itu gunakan keahlian dan kekuatan yang masih relevan untuk kondisi saat itu.

3. Materi Kepemimpinan

Institusi atau organisasi apapun yang anda pimpin, termasuk kehidupan anda, membutuhkan materi yang bisa dipelajari untuk kemudian diajarkan kepada pihak yang anda pimpin. Karena semua orang sudah ditakdirkan menjadi pemimpin, maka secara pasti anda memiliki materi kepemimpinan hidup yang bisa diajarkan. Kendalanya, di manakah file materi hidup itu anda simpan? Filing materi yang tidak sistematik akan menyulitkan anda untuk me-recall-nya ketika materi tersebut harus anda ajarkan. Karena tidak anda temukan file-nya, maka setiap kesalahan orang yang anda pimpin akhirnya diselesaikan tergantung mood.

Kenyataan membuktikan, ketika orang tua tidak menemukan file materi untuk diajarkan kepada putra-putrinya; ketika atasan tidak menemukan file materi untuk diajarkan kepada bawahannya, maka putra-putri atau bawahan anda akan diajar oleh pihak lain. Hal ini tidak menjadi masalah selama pengajaran pihak lain mendukung harapan anda, tetapi bagaimana kalau pengajarannya bertentangan seratus persen dengan nilai, keyakinan, visi, misi anda? Bukan lagi sekedar persoalan yang pantas disalahkan tetapi juga terkadang memalukan. Putra-putri perlu dididik, bukan sekedar diberi makan; bawahan perlu diberdayakan, bukan sekedar diawasi sebab anda di mata mereka adalah pemimpin yang berarti "The world".

Di bidang bisnis anda pasti sudah mengenal produk perusahaan raksasa bernama Coca Cola, di mana Roberto Goizueto menjadi CEO-nya. Sebagai CEO, ia dikenal sebagai sosok yang sering menceritakan kepada bawahan mengenai bagaimana kehidupan pribadinya di masa muda bersama sang kakek yang menekankan pentingnya cash flow dan kesederhanaan. Begitu juga Phil Knight, CEO dan Chairman NIKE, yang selalu mengobarkan semangat kemenangan perusahaan yang dipimpinnya itu. Di bidang politik, Martin Luther yang dengan pidatonya berjudul "I Have a Dream" telah memobilisasi power image mengenai kesetaraan kulit hitam dan putih di Amerika. Noel M. Tichy dalam artikel yang diterbitkan oleh The Drucker Foundation and Jossey-Bass, Inc, 1997, menyebutnya dengan istilah "The Power of Story Telling".
Bagi orang tua, materi yang anda ajarkan kepada putra-putri itu punya daya akses langsung ke karakter melalui alam bawah sadar. Inilah sebenarnya makna yang harus dipahami ketika anda setuju bahwa keluarga punya peranan penting membentuk karakter anak. Terkadang anda tertipu dengan rule of habit yang sudah habis masa berlakunya yang mengatakan bahwa buah akan jatuh tidak jauh dari pohonnya. Padahal ada angin kencang yang membawa buah itu jatuh ke tempat yang jauh dari pohonnya. Ini berlaku juga untuk wilayah lain mulai dari bisnis, politik, pendidikan dan lain-lain. Oleh karena itu siapkan diri anda dengan materi dan file yang baik sehingga akan menghasilkan buah yang baik pula.

Depresi dan Reformasi Diri

Apa yang menyebabkan kita sampai menderita depresi? Sejauh depresi itu diartikan sebagai sebuah kondisi batin yang tertekan dalam waktu panjang (stress berkelanjutan) dan mengakibatkan hilangnya harapan hidup, makna hidup, motivasi berprestasi, dan kepercayaan-diri (losing mood and confidence), tentu saja sebab-sebabnya banyak. Namanya juga orang hidup. Realitas kehidupan ini terkadang lebih kejam dari kekejaman yang sanggup kita bayangkan.

Secara garis besar kita bisa mengatakan bahwa depresi bisa terjadi di "stimulasi" oleh keadaan eksternal yang berubah ke arah yang lebih buruk dan itu di luar kontrol kita. Mengapa di “stimulasi” ? Perlu digarisbawahi di sini, bahwa kondisi emosi - psikologis masing-masing orang turut menentukan apakah sesuatu itu dapat menyebabkan depresi, sejauh mana tingkat depresinya serta seberapa besar kemampuan orang itu untuk mengatasi masalah (hingga tidak sampai depresi) - atau, seberapa besar kemampuan orang itu untuk mengatasi depresinya.

Katakanlah di sini misalnya kematian orang-orang tercinta atau bencana alam yang menyisakan kenangan-kenangan traumatik. Bila ini berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi dan menyebabkan kita kehilangan mood, kehilangan gairah untuk melangkah, kehilangan kepercayaan diri, maka trauma itu berubah menjadi depresi. Kita kehilangan daya tarik untuk menjadikan hidup kita menjadi lebih hidup dan kehilangan semangat untuk menjalankan aktivitas positif.

Depresi juga bisa muncul akibat perlakuan orang lain yang buruk pada kita. Seorang karyawan akan merasa tertekan apabila mendapati kondisi kerja dan gaya manajemen di tempat kerja yang menekan (stressful). Jika dia sudah berusaha untuk mencari pekerjaan lain ke mana-mana namun belum mendapatkan dan ditambah lagi dengan cara yang tidak kreatif dalam menghadapi realitas semacam itu, mungkin saja si karyawan itu akan terkena depresi. Depresi bisa tumbuh dari stress kerja yang berlangsung lama.

Depresi bisa juga terjadi pada seseorang setelah dianiaya orang lain, misalnya pemerkosaan atau kekerasan rumah tangga. Peristiwa buruk itu akan membuka kemungkinan terhadap depresi. Atau juga bisa terjadi pada orang yang sehabis terkena kebijakan PHK. Kehilangan pekerjaan dapat membuat kita stress (kehilangan status, kehilangan sumber penghasilan, dst) dan bila kita sudah mencari pengganti pekerjaan itu kemana-mana dan ternyata belum membuahkan hasil, stress itu akan berubah menjadi depresi. Depresi di sini adalah tekanan batin yang serius ditandai dengan kesedihan dan kekosongan (feeelings of sadness or emptiness).

Depresi juga muncul karena ulah kita sendiri. Ulah di sini ada yang berbentuk penyimpangan / pelanggaran atau ada yang berbentuk pengabaian. Hampir seluruh tindak penyimpangan atau pelanggaran atas apa yang benar di dunia ini dalam skala / ukuran yang besar, umumnya akan melahirkan konsekuensi yang "uncontrollable". Bila konsekuensi buruk itu terjadi dan merembet kemana-mana dan semuanya menjadi pilihan buruk buat kita, ini juga bisa menimbulkan depresi. Karena itu banyak penderita NAPZA yang berkesimpulan bahwa kesembuhannya itu berkat mukjizat. Ini karena sedemikian sulitnya membayangkan bagaiman melepaskan diri dari ketergantungan dan dari konsekuensi buruk lainnya yang terkait dengan itu.

Demikian juga dengan pengabaian. Pengabaian terhadap diri sendiri, misalnya punya potensi tetapi tidak dikembangkan, punya pekerjaan tetapi tidak disyukuri (dijadikan lahan untuk meningkatkan diri), punya resource tetapi tidak digunakan, dan lain-lain, ini juga bisa menimbulkan depresi. Jadi, bukan pengabaiannya yang menyebabkan depresi tetapi konsekuensi pengabaian itulah yang membuat orang menjadi depresi. Kita mulai merasa tidak ada artinya bagi diri sendiri dan orang lain. Ketika perasaan ini terus menggunung, ya lama kelamaan akan menimbulkan depresi. Karena itu ada pendapat ahli yang menyatakan bahwa depresi bisa saja terjadi tanpa harus didahului peristiwa buruk yang tragis dan dramatik. Problem personal yang kecil-kecil namun diabaikan bisa saja akan mengundang depresi..

Hindari Tujuh Hal

Meski kita ingin segera dapat mengatasi depresi, tetapi tak jarang kita malah mempraktekkan hal-hal yang memperparah depresi itu. Ini antara lain bisa dijabarkan sebagai berikut:
Hanya mencari-cari tip, saran atau tehnik yang jitu untuk mengatasi depresi. Tip dari buku, saran dan tehnik dari orang lain itu sangat kita butuhkan tetapi posisinya di sini bukan sebagai penentu, melainkan sebagai pembantu (bantuan. Kita membutuhkan semua itu tetapi tidak boleh mengandalkan pada semuanya. Artinya, tip dan saran itu akan berguna ketika kita dalam keadaan sedang berusaha untuk mengatasi depresi dan tidak berguna kalau kita duduk dan diam saja.
Tidak percaya, menolak atau skeptis terhadap saran, pendapat atau bantuan orang lain. Ini adalah bentuk padanan yang ekstrim dari yang pertama. Menutup diri, menutup-nutupi, melecehkan semua orang atau menjauhi orang kerapkali justru akan membuat kita semakin ‘depressed’ dengan keadaan kita.
Hanya menyalahkan keadaan atau orang. Mungkin saja yang membuat kita depresi itu adalah dunia ini yang telalu kejam atau orang lain. Tetapi akan malah berbahaya kalau yang kita ingat dan yang kita lakukan adalah hanya mengutuk dunia dan mengutuk orang lain. Harus ada inisiatif dari dalam diri kita untuk mengobati diri sendiri.
Kurang kreatif dalam menemukan cara atau terlalu "taat" pada rutinitas yang biasa-biasa. Ini juga bisa membuat depresi itu makin mendalam. Ada saran agar kita membagi aktivitas menjadi tiga:
aktivitas positif yang wajib
aktivitas yang untuk fun atau pleasurable, dan
aktivitas yang untuk menabur kebajikan pada orang lain seperti membantu atau menyambung hubungan.
Membiarkan munculnya definisi diri negatif, misalnya saja: saya sudah tidak punya apa-apa lagi, saya muak melihat diri saya, hidup saya sudah hancur dan tidak bisa diperbaiki lagi, dan seterusnya. Ini adalah definisi atau kesimpulan atau label tentang diri sendiri yang kita buat sendiri. Jika ini terus berlanjut akan mempersulit upaya recovery.
Menolak realitas dengan cara yang merugikan. Realitas itu kalau ditolak dengan tujuan menolak yang asal menolak (denial), ini akan memperparah pertengkaran yang membuat depresi itu makin mencengkeram. Tetapi bila kita terima dengan pasrah dan kalah (larut dan hanyut), ini juga tidak menyembuhkan. Yang diharapkan adalah menerima untuk memperbaiki. Seperti yang ditulis Dr. Felice Leonardo Buscaglia, "Trauma yang abadi di adalah penderitaan yang tidak diikuti dengan perbaikan".
Menganut paham perfeksionis yang tidak rasional. Dari pengalaman sejumlah ahli dalam menangai penderita depresi, konon yang menghambat upaya recovery adalah ketika seseorang berpikir bahwa dia harus bebas dari depresi seketika itu dan langsung, tidak usah repot-repot. Mengatasi depresi butuh proses yang berkelanjutan, dan jika kita menolak proses itu bukan malah cepat tetapi malah semakin lama.
Tujuh hal di atas dapat kita gunakan untuk menjelaskan realitas di mana ada orang yang semakin buruk langkahnya, makin buruk hubungannya dan makin buruk caranya dalam menghadapi hidup saat depresi. Anda mungkin punya teman, keluarga atau tetangga yang malah semakin tertutup, semakin tidak persuasif, semakin tidak bijak, semakin sempit, semakin tertutup dan sejumlah "semakin" yang negatif lainnya.


Tetapi ada juga sekelompok orang yang mulai menunjukkan bukti-bukti perbaikan diri, perbaikan hubungan dan perbaikan cara dalam menghadapi realitas. Semakin jelas langkah yang ditempuh, semakin open dan bijak, semakin bisa memilih orang, semakin ramah, semakin soleh hidupnya, dan seterusnya. Sebisa mungkin kita perlu berjuang untuk menjadi manusia kelompok kedua.

Agenda Reformasi
Secara umum, agenda reformasi itu bisa kita buat berdasarkan poin-poin berikut ini:

1. Membangun citra diri positif

Citra diri berasal dari bagaimana kita menyimpulkan diri sendiri atau beropini tentang diri sendiri. Yang positif membuahkan citra positif. Untuk membangun yang positif ini diperlukan tiga hal:
Anda perlu menciptkan definisi, opini atau kesimpulan yang positif
Anda perlu melawan munculnya opini, definisi atau kesimpulan negatif dengan cara menghentikan, mengganti atau membatalkan
Anda perlu menciptakan alasan-alasan faktual, bukti nyata untuk mendukung kesimpulan positif yang Anda ciptakan
Sedikit tentang alasan faktual itu, saya ingin memberi contoh misalnya saja Anda berkesimpulan bahwa hidup Anda memang masih bermakna (untuk diri sendiri dan untuk orang lain). Kesimpulan ini lebih positif ketimbang Anda punya kesimpulan yang sebaliknya. Tetapi jika yang Anda lakukan hanya sebatas merasa atau menyimpulkan (tanpa diiringi dengan perbuatan dan hasil atau pembuktian bertahap), lama kelamaan kesimpulan Anda ini akan kalah oleh fakta yang ada tentang diri Anda. Jangan pernah berpikir bahwa perbaikan diri itu bisa ditempuh dengan cara tidak melakukan sesuatu. Forget it.

2. Menjalankan agenda perbaikan berkelanjutan yang realistis

Kesalahan kita saat terkena depresi adalah: kita hanya merasakan bagaimana depresi itu tetapi kurang berpikir tentang apa saja yang masih bisa kita lakukan untuk memperbaiki diri di masa depan. Kita tenggelam ke dalam masa lalu yang buruk dan lupa meng-imajinasi-kan masa depan yang lebih bagus. Padahal, masa lalu itu sudah tidak bisa diubah. Padahal, masa depan itu masih "open" buat kita. Agar ini tidak terjadi, Anda boleh memilih agenda perbaikan di bawah ini:
Anda merencanakan program atau jadwal tentang apa yang perlu anda lakukan dan apa yang perlu Anda hindari agar hidup Anda menjadi lebih bagus di hari esok berdasarkan keadaan Anda.
Anda mencanangkan target yang benar-benar ingin Anda raih sebagai bukti adanya perbaikan dalam diri Anda, misalnya mendapatkan pekerjaan, mendapatkan orang yang lebih bagus, mendapatkan tempat yang lebih bagus, dan seterusnya.
Anda merumuskan tujuan jangka pendek atau panjang yang ingin Anda wujudkan, seperti misalnya menyelesaikan kuliah, meningkatkan penguasaan bidang, menambah pengetahuan atau skill, dan lain-lain
Tiga hal di atas perlu dilakukan dengan catatan harus realistis: bisa dilakukan dari mulai hari ini, dengan menggunakan sumber daya yang sudah ada, dan dari lokasi hidup di mana Anda saat ini berada. Hindari membuat program atau target yang “mengkhayal” atau hanya berfantasi atau terlalu tinggi sehingga tidak bisa dilakukan dan tidak bisa diraih.

3. Menggunakan ketidakpuasan

Saat depresi, pasti kita tidak puas dengan hidup kita. Ini bisa positif dan bisa negatif, tergantung bagaimana kita menggunakan. Bagaimana supaya bisa positif? Salah satu caranya adalah dengan menggunakan ketidakpuasan itu sebagai dorongan / motivasi unntuk melakukan sesuatu (menjalankan program, meraih target atau tujuan). Anda bisa menggunakan ketidakpuasan atas masa lalu dan hari ini sebagai pemacu untuk memperbaiki atau mengubah hari esok. Jika PHK telah membuat Anda depresi, jadikan itu sebagai motivasi untuk memperluas jaringan, memperbaiki skill, membangun karakter yang lebih positif, dan seterusnya. Ini jauh lebih positif ketimbang kita hanya merasakan depresi, mengasihani diri sendiri dan menyalahkan orang lain.

4. Memperbaiki / memperluas hubungan

Wilayah hubungan yang perlu diperbaiki adalah:
hubungan dengan diri sendiri: control diri, meditasi, dialog diri, dll.
hubungan dengan orang lain dan
hubungan dengan Tuhan (meningkatkan iman).
Memperbaiki hubungan dengan diri sendiri akan membuat kita cepat mengontrol atau menarik diri dari keadaan yang tidak menguntungkan kita. Kalau kita sadar bahwa kita sedang depresi dan sadar bahwa kita harus segera mengambil tindakan, tentunya ini akan beda persoalannya.

Memperbaiki hubungan dengan manusia akan membantu usaha yang kita lakukan dalam mengatasi depresi. Kita tetap harus ingat bahwa manusia itu bisa digolongkan menjadi dua:
ada manusia yang menjadi sumber depresi buat kita, dan
ada manusia yang menjadi bantuan solusi atas depresi.
Yang kita butuhkan (sebanyak-banyaknya) adalah manusia kelompok kedua. Jangan sampai kita menjauhi semua manusia, trauma kepada semua manusia, atau tidak percaya pada semua manusia.

Bagaimana memperbaiki hubungan dengan Tuhan? Ada banyak cara untuk memperbaikinya, antara lain:
meningkatkan iman
menjalankan ajaran agama yang kita pilih (formal dan non-formal) sampai benar-benar kita merasa dan meyakini ada semacam “kebersamaan”. Kebersamaan di sini bukan kebersamaan yang "halusinasi" (tidak berdasar dan tidak berefek), tetapi kebersamaan yang mendorong kita untuk melakukan hal positif dan menghindari hal negatif. Kebersamaan seperti ini akan memperkuat dan mencerahkan.

5. Mengganti paham "perfection" menjadi "excellence"

Dengan bahasa yang sederhana dapat dijelaskan bahwa perfection adalah menuntut kesempurnaan (dari orang lain, dari diri sendiri dan dari dunia ini). Sementara, excellence adalah mengusahakan kesempurnaan secara bertahap, perbaikan berkelanjutan. Perfection lebih dekat pada keyakinan yang tidak rasional. Keyakinan seperti ini lebih mudah terkena depresi pada saat kita ingin mengatasi depresi, misalnya saja kita tidak mau gagal lagi (kemungkinan untuk gagal itu selalu ada), kita anti toleransi terhadap kelemahan orang lain (semua orang punya kelemahan), dan seterusnya.

Menurut Susan Dunn, MA, (When Perfect Isn't Good Enough, www.selfgrowth.com, perfeksionis dapat mengakibatkan hal-hal buruk yang antara lain adalah:
dapat mengantarkan kita pada isolasi diri
dapat mengantarkan kita menjadi orang yang takut menghadapi resiko hidup
dapat mengantarkan kita pada kesulitan dalam membuat keputusan atau sasaran hidup yang tepat
dapat mengantarkan kita pada kesalahan dalam menilai diri (overestimate)
dapat mengantarkan kita menjadi orang kerdil yang sulit mempercayai orang lain.

Postur Mental

Dimasa kejayaan Mike Tyson, hampir setiap orang di seluruh dunia pasti akan menilai bahwa kemenangan pertandingan diberikan kepada para penantang, sebab kenyataannya jarang seklai penantang yang bertahan sampai ronde akhir melawan si "leher beton" itu. Malah ada yang dirobohkan hanya dalam hitungan detik. Sosok Tyson dibentuk oleh citra sebagai petinju tanpa tanding seakan-akan ia adalah makhluk "pengecualian". Hingga kemudian Hollyfield menerima tawaran bertanding dengan si leher beton itu. Masih segar dalam ingatan kita, Hollyfield ternyata mampu mengalahkan Tyson. Sejak saat itu citra tentang Tyson yang telah didefinisikan oleh masyarakat dunia setidaknya tidak lagi mengarah pada sosok pengecualian atau tanpa tanding.

Bagaimana Hollyfield bisa mengalahkan Tyson? Dari ungkapannya saat perang mental berlangsung yang dilansir oleh sebagian besar media massa dunia, kata-kata Hollyfield yang pantas dicatat adalah: "Saya akan menggunakan rasa takut untuk melawan". Dari sejumlah komentar pengamat di bidang tinju dapat disimpulkan bahwa rasa takut itulah yang mengilhami Hollyfield menemukan jurus mempertemukan keunggulan dirinya dengan kelemahan Tyson. Jurus gerilya: menyerang dan menjauh ternyata efektif karena Tyson punya jangkauan pukulan lebih pendek. Itulah gambaran yang secara filosofi dapat dijabarkan bahwa menang dan kalah tidak ditentukan semat-mata oleh ukuran besar-kecil sosok lawan tetapi oleh strategi mempertemukan keunggulan melawan kelemahan: strength against weakness.

Posisi Mental

Tak bisa dipungkiri, semua orang membutuhkan strategi mempertemukan keunggulan diri guna melawan kelemahan lawan. Belajar dari pertandingan tinju di atas, kemenangan atau kekalahan dalam menghadapi problem sebenarnya tidaklah diukur oleh besar-kecil problem yang mayoritas telah didefinisikan oleh pencitraan umum sebagai suatu persoalan yang sulit, tidak mungkin atau sudah dicoba banyak orang tetapi gagal. Kenyataannya kemenangan dihasilkan oleh strategi bagaimana anda mendifinisikan keunggulan di dalam dan kekurangan di luar sehingga mampu memilih posisi untuk menempatkan postur diri (disebut juga postur mental) secara tepat di hadapan problem. Postur Diri adalah posisi mental tertentu yang anda gunakan dalam melihat suatu persoalan.

Secara umum posisi mental setiap orang dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Pemenang

Problem mempunyai konstruksi seperti gajah dan mayoritas orang menempati posisi mental seperti dilakukan orang buta yang meraba gajah tersebut. Dengan posisi mental demikian maka apa yang didefinisikan tentang problem tidak bisa menjabarkan sisi mana yang lebih sederhana dan lebih dulu diselesaikan kecuali hanya dimiliki oleh sedikit orang dengan posisi pemenang.
Jika merujuk pada identifikasi Dr. R.M. Bucke dalam bukunya Cosmic Consciousness (Performance Unlimited: 1998), maka karakteristik dominan dari seorang postur pemenang adalah sebagai berikut:
Realistik - menempatkan posisi mental berada di atas realitas, tidak tenggelam di dalamnya.
Mengakui - menerima diri, orang lain dan keadaan dengan ‘understanding as they are’
Sederhana - mampu menempatkan diri secara tepat: tidak kurang dan tidak lebih
Problem Solving - melihat persoalan dari partikulasi atau sudut yang paling mungkin untuk diselesaikan.
Dengan posisi mental sebagai pemenang maka sangat dimungkinkan bahwa individu akan menghasilkan kemenangan di akhir pertandingan melawan problem hidupnya. Setidaknya pun ia masih belum menang secara total tetapi setidaknya sudah bisa mengalahkan mentalitas kalah di dalam dirinya.

b. Pecundang

Posisi mental kalah atau pecundang adalah kualitas mental yang melihat problem sebagai the absolute truth of problem, sebuah alasan yang dijustifikasi dan bukan tantangan yang menuntut solusi. Kekalahan itu bisa diekspresikan dengan penolakan dalam bentuk kerelaan hilangnya harga-diri sebagai manusia normal. Postur pecundang ini tidak bisa dilepaskan dari gaya hidup berbasis problem yang melihat kenyataan dengan lensa problem. Menurut Patrice Steen dan John Robson dalam artikelnya Choose What You Want in Life (Higher Awareness - Inner Journey Newsletter: 2001) karakteristik dari gaya hidup berbasis problem adalah:
Ketakutan terhadap sesuatu
Terintimidasi harapan pihak lain
Kebiasaan yang salah dalam menangani masalah
Perilaku reaktif semata
Dampak paling buruk dari postur pecundang adalah kerelaan hilangnya harga diri. Kerelaan ini kalau didukung dengan keberanian akan menghasilkan tindakan yang tidak saja merugikan diri sendiri melainkan tindakan brutal yang menghalalkan segala cara dan tentu saja merugikan orang lain.

c. Pasrah

Postur ini secara kualitatif berada di antara kedua postur di atas atau lebih tepatnya dikatakan postur berpotensi menang atau kalah, tergantung kemauannya untuk berkembang. Ciri khas yang paling menonjol adalah mempermasalahkan masalah yang sednag emnimpanya sebab bagi dirinya masalah adalah sebatas apa yang ia rasakan tidak enak. Biasanya ia sama sekali tidak mengambil prakarsa solusi secara keseluruhan atau bagiannya sebab merasa orang lain di dekatnya lebih mampu. Merujuk pada pendapat Andrew Wood dalam bukunya Life’s Champions (Hammond e-Resource: 2002) penyebab dari postur ini adalah kekurangan perangkat sumber daya berupa: pengetahuan atau ketrampilan.

Bagaimana Menjadi Pemenang?

Prinsip dasar pembelajaran-diri adalah manusia dilahirkan untuk menyelesaikan semua bentuk problem: difficulty, dilemma, puzzle, atau mystery. Sesuai dengan perubahan dan kemajuan maka kompleksitas tiap bentuk pun bertambah sehingga mau tidak mau menuntut perbaikan kemampuan menciptakan solusi secara terus-menerus untuk menjadi lebih baik. Posisi mental pemenang dihasilkan dari upaya pembelajaran-diri secara terus menerus, perbaikan dan peningkatan dari beberapa materi berikut:

1. Membangun karakter

Tak aneh kalau dikatakan hidup adalah permainan yang diperagakan di atas panggung di mana masing-masing orang memainkan peranannya. Posisi mental pemenang merupakan cerminan karakter mental menang dan karakter menang didasarkan pada sejauhmana anda menjiwai naskah asli anda. Orang yang memahami secara utuh siapa dirinya dengan peranan yang harus dimainkan, memahami bagaimana lingkungan dan masalah yang dihadapi maka akan menghasilkan karakter superior di mana ia menginjakkan kaki di atas bumi realitas tanpa was-was, atau rasa khawatir atas ancaman yang muncul dari sesuatu yang tidak diketahui atau virus "Jangan-jangan kalau..."

Dalam menghadapi bentuk dan jenis problem yang sama masing-masing individu bisa memiliki karakter berbeda: kalah - menang. Karakter kalah sudah lebih dulu dikuasai oleh citra yang dibuat sendiri atau kerelaan menerima secara utuh definisi atau citra dari orang lain bahwa postur problem yang dihadapi lebih besar dan tidak lagi terbuka celah untuk dilumpuhkan. Semakin lama mentalitas inferior itu menduduki wilayah kekuasaan seseorang atas hidupnya maka akan menjelma menjadi bentuk penyikapan: "The I cannot attitude".

Memiliki posisi mental pemenang atas problem yang anda hadapi diawali dari upaya kristalisasi karakter mental menang bahwa diri anda lebih besar dari problem; bahwa jumlah solusi yang mampu anda temukan lebih banyak dari jumlah problem yang anda hadapi; bahwa anda memahami siapa diri anda: kekuatan, kelemahan, dan apa yang akan dilakukan. Karakater inilah yang harus terus-menerus anda bangun.

2. Membangun keyakinan

Menghadirkan posisi pemenang atas problem mutlak membutuhkan keyakinan atas kemampuan diri (self confidence - PD). Self Confidence dibentuk dari sejumlah alasan faktual tentang kemenangan masa lalu anda atas berbagai persoalan. Semakin banyak kesuksesan masa lalu yang anda kumpulkan akan menjadikan anda semakin "PD" menghadapi persoalan sekarang. Meskipun secara data tehnis bisa jadi berbeda antara problem masa lalu dan sekarang tetapi yang perlu anda kembangkan adalah karakter mental dan rasa percaya diri.

Selain rasa percaya diri, bentuk keyakinan yang perlu anda kembangkan adalah keyakinan atas kekuatan yang menjadi sumber segala kekuatan di luar diri anda, keyakinan nilai yang gaib dan tak terlihat (invisible) atau keimanan pada Tuhan. Orang yang tidak punya keyakinan bahwa dirinya dilindungi, dibantu, dijamin perbuatannya tidak sia-sia, maka postur diri yang dihasilkan adalah postur pasrah atau kalah. Persoalannya adalah bagaimana orang bisa "mendekati" Tuhan sehingga kekuatan-Nya yang begitu besar tidak dimubazirkan oleh cara memahami yang kurang sesuai. Secara mekanisme, sejumlah agama di dunia mengajarkan pendekatan dengan doa, yang secara ilmiah membuktikan bahwa keyakinan dan doa berperan seperti sayap. Kalau anda tidak punya sayap, bagaimana mungkin terbang di atas realitas?

3. Membangun dukungan

Dukungan orang lain adalah power bagi anda untuk menghasilkan posisi mental pemenang. Tetapi mendapatkan dukungan adalah akibat (the effect) dari usaha anda menciptakan alasan bagi orang lain bahwa anda layak didukung. Semua itu perlu dimulai dari dalam guna membangun kepercayaan dan kredibilitas secara moral dan professional. Moral adalah manifestasi kepribadian yang dibentuk oleh nilai-nilai luhur seperti kejujuran, keikhlasan, pengabdian dan lain-lain, sementara profesionalitas adalah penguasaan ketrampilan atau pengetahuan khusus.

Untuk mendapatkan dukungan secara utuh, sebaiknya anda menjalankan program kelayakan dipercaya secara bersamaan: moral dan professional. Sebab kenyataan membuktikan bahwa kelayakan yang dibangun hanya dari salah satu unsur itu menyimpan kata “tetapi” di akhirnya yang menandakan tidak utuh: Anda jujur tetapi…? Atau anda pintar tetapi…..?


Membangun postur diri adalah pencapaian kualitas mental dalam menghadapi problem kehidupan dari waktu ke waktu. Prinsip yang paling mendasar adalah probem bukanlah "the absolute truth of fact" tetapi murni "the shadow of mindset" yang menyisakan sekian banyak sudut pandang. Kemenangan dan kekalahan dalam melawan problem bukan ditentukan oleh ukuran besar-kecil problem akan tetapi posisi mental yang kita pilih secara rasional untuk mengambil posisi mental pemenang. Sebab fakta alamiah menunjukkan bahwa semakin "besar" ukuran seseorang semakin besar pula ukuran problem yang dihadapi.

Harga Gelar Akademik

Ada pandangan yang kontradiktif di masyarakat kita tentang gelar akademik. Tak sedikit yang berpendangan bahwa gelar akademik itu sama sekali tidak penting. Sesungguhnya, pandangan demikian bukan disebabkan oleh gelar itu sendiri, namun disebabkan banyaknya orang yang merasa kurang diuntungkan dari gelar akademis yang dimilikinya. Sampai-sampai, ada istilah "sarjana pengangguran", "Sia-sia saja empat tahun bergelut dengan buku akhirnya susah mencari kerja", kata Iwan Fals.

Namun di lain pihak, tak sedikit yang tetap berpandangan bahwa gelar itu sangat penting. Hampir semua iklan lowongan kerja yang dibuka untuk pasar umum menetapkan gelar atau sertifikasi akademik (kursus dan diploma) sebagai persyaratan. Lebih-lebih lagi untuk jabatan-jabatan yang berkaitan dengan posisi di pemerintahan.

Kenyataan yang mencerminkan pandangan kedua ini juga bisa kita lihat dari praktek hidup sehari-hari. Andaikan gelar itu tidak penting, tentu tak akan ada calon legislatif kita yang ditemukan aparat ternyata bergelar palsu (aspal). Andaikan gelar itu tidak penting tentu jumlah perguruan tinggi tidak sebanyak yang ada di negara kita ini.

Adanya pro-kontra pandangan demikian tentu bukanlah masalah bagi jalannya kehidupan secara umum. Semua orang sudah bisa memaklumi bahwa di dunia ini memang sudah sewajarnya harus terjadi pro dan kontra. Lalu, dimana letak masalahnya? Gelar akademik akan menjadi masalah jika diri kita bermasalah, seperti adanya konflik-konflik dalam diri yang akhirnya membatasi pemberdayaan-diri, pendidikan-diri, dan pembelajaran-diri kita.

Mental Kuat Vs Mental Lemah

Tentu saja, baik kita memilih antara gelar akademik itu penting atau tidak penting, keduanya jelas benar. Benar di sini punya pengertian memiliki data-data faktual di lapangan. Semudah kita menemukan orang bergelar atau tidak bergelar bisa berprestasi tinggi, semudah itu pula kita menemukan orang tak bergelar atau bergelar yang belum / tidak berprestasi tinggi. Kira-kira inilah kalau kita bicara kenyataannya secara umum.

Hanya saja, ketika kita bicara kenyataan spesifik dan kenyataan riil bagi setiap individu, persoalannya akan sedikit berbeda dan hal ini erat hubungannya dengan sikap mental. Ada 2 macam sikap mental, a) sikap mental lemah dan b) sikap mental kuat.

Sikap mental lemah, adalah ekspresi penyikapan yang dilandaskan pada kesimpulan kalah oleh realita, hanyut ke dalam realita. Sementara sikap mental kuat adalah ekspresi penyikapan yang dilandaskan pada kesimpulan menang, bergerak menginjak realita. Adakah orang yang sanggup mengalahkan realita? Tidak ada orang yang sanggup melawan realita. Tetapi, pengertian kalah di sini, adalah kegagalan kita menemukan bagian spesifik dari realita yang tepat untuk memberdayakan diri kita.

Mengapa kita perlu memilih sikap mental kuat dan memilih menjadi pemenang? Kenyataan itu, kata orang bijak adalah keragaman yang menyatu dengan keseragaman, perbedaan yang menyatu dengan persamaan, dan punya dimensi yang tak sanggup dirangkul kekuasaan apapun. Tetapi, kenyataan adalah potensi yang cukup cair sehingga oleh Samuel Butler dikatakan: "Hidup ini seni", life is an art. Namanya seni, berarti sebagian besar keindahan sebuah kreasi lebih banyak ditentukan oleh sikap mental untuk menyentuh, bukan tergantung pada bahan baku. Batu bisa hanya sekedar menjadi batu tetapi bisa pula menjadi patung yang bernilai.

Perbedaan pola sikap mental yang kita gunakan dalam melihat kenyataan, akan menciptakan perbedaan kesimpulan mental (hasil makna) yang kita pahami. Perbedaan kesimpulan akan membedakan keputusan, dan perbedaan keputusan akan membedakan (rencana) tindakan, perbedaan tindakan akan membedakan kebiasaan dan perbedaan kebiasaan akan membedakan karakter (prilaku menghadapi hidup) dan perbedaan di tingkat karakter akan membedakan perbedaan tanggapan (feedback) yang dikeluarkan oleh kehidupan kepada kita. Mungkin inilah sedikit urut-urutan dari kesimpulan yang sering kita dengar bahwa: "Dunia di dalam, akan menentukan dunia di luar". "Nasib adalah pilihan, buka hadiah dari peluang". "Man behind the gun". "Jika kau mengubah dirimu akan berubah nasibmu". Dan sejumlah ungkapan lain yang kira-kira punya arah kesimpulan senada.

Jadi, segala sesuatu banyak tergantung pada orangnya. Kata-kata "tergantung orangnya" ini menunjuk sikap mental (mental attitude), strategi yang kita pilih untuk menyikap hidup, jalan hidup yang kita gunakan untuk mendapatkan keinginan, dan seterusnya. "Hidup ini adalah pemainan", kata firman kitab suci. "Separoh dari permainan hidup ini dimenangkan oleh sikap mental", kata Danny Ozark (Half this game is 90 % mental). "Kemenangan para juara di lapangan itu (sepertinya) adalah kebiasaan dan gaya hidup. Celakanya demikian pula kekalahan", kata kesaksian Vince Lombardi yang sudah bertahun-tahun hidup bersama para atlit.

Hubungannya dengan harga sebuah gelar yang kita miliki dan gelar yang tidak kita miliki adalah, harga sebuah gelar pada praktek hidup yang paling spesifik lebih banyak ditentukan bukan oleh angka yang melekat pada gelar itu, tetapi oleh bagaimana kita mengolahnya menjadi indah; ditentukan oleh sikap mental yang kita pilih untuk menyikapi realita yang pro-kontra terhadap gelar, atau bagaimana kita menjatuhkan kartu bermain dari kartu apapun yang sudah kita miliki. Mark Twin pernah bilang: "Hidup ini bukan persoalan kartu apa yang kita terima, tetapi kartu apa yang kita pilih untuk kita jatuhkan".

Penting dan tidak pentingnya gelar itu bagi kita adalah pilihan, kebebasan dan kesimpulan pribadi. Tetapi yang perlu kita audit adalah untuk apa kesimpulan itu akan kita gunakan? Bergelar dan tidak bergelar akan sama saja tak banyak menolong kalau kita menggunakannya untuk mencari alasan yang hanya akan memperlemah diri (self excusing). Meminjam ungkapan Pak Bob Sadino, kesimpulan memperlemah ini akan membuat kita kehilangan momen untuk melakukan sesuatu, kehilangan daya kreatif, dan inovasi. Bisa jadi, kesimpulan ini juga berpotensi untuk memversikan Tuhan sebagai pihak yang selalu salah memberi sesuatu kepada kita.

Proses Belajar

Salah satu hukum yang pernah digagas oleh Aristotle sebelum meninggal adalah "The law of success" (Hukum Merealisasikan Tujuan Bertahap). Isinya adalah, apa yang menjadi keharusan bagi kita yang ingin merealisasikan tujuan itu? Di sini Aristotle merumuskan tiga hal inti yaitu:
kejelasan keinginan
kejelasan alat yang kita pilih
kejelasan sikap mental yang kita pilih
"Pertama kali memilikilah tujuan hidup yang jelas. Kedua, milikilah cara untuk mencapai tujuan. Cara itu beragam dan bisa anda pilih: materi, metodologi, uang, atau kepribadian. Ketiga, gunakan yang anda miliki untuk mencapi tujuan".

Kalau formula itu akan kita gunakan untuk memberi angka-jual gelar akademik yang kita miliki atau tidak kita miliki, maka kuncinya adalah:
Ekspresi keinginan spesifik,
Kecocokan antara keinginan, alat dan hukum kebiasaan
Kreativitas menggunakan alat untuk mencapai keinginan.
Salah satu jurus yang bisa kita gunakan untuk mengeksplorasi keinginan yang benar-benar spesifik bagi kita adalah pertanyaan-diri (self-questioning), misalnya saja: "Apa yang bisa saya lakukan dengan apa yang sudah saya miliki dalam hidup ini, untuk memperbaiki diri ke arah yang lebih baik?" Semakin banyak jawaban yang kita temukan akan semakin bagus sehingga kita memiliki banyak pilihan untuk menyusun langkah berdasarkan skala prioritas utama.

Merujuk pada formula ini berarti gelar atau tanpa gelar itu masuk dalam wilayah alat. Seperti dikatakan Aristotle sendiri, alat ini jelas bukan hanya itu, bukan satu, dan sebanyak pilihan kita kecuali kita membatasi pilihan itu. Dan yang penting, pilihan kita terhadap alat ini adalah kecocokan yang sifatnya sangat pribadi. "Orang akan mencapai kualitas tertentu kalau dia terus melakukan sesuatu dengan cara / jalan tertentu", begitu Aristotle menambahkan.
Karena kepemilikan gelar akademik ini sebagian besar lebih ditentukan oleh hasil penilaian pribadi kita, maka kreativitas menjadi sangat dibutuhkan. Meskipun kita adalah makhluk yang unggul, tetapi jika penilaian kita atas diri kita tidak menghasilkan kesimpulan yang berarti, maka hampir dipastikan kita menghadapi kenyataan yang sama dengan penilaian kita terhadap diri sendiri. Robert Kiyosaki menyimpulkan bahwa kegagalan itu akan menghancurkan orang kalah (loser) tetapi akan memberi inspirasi maju bagi orang menang (winner). Kesimpulan ini tentu tak akan jauh dari sikap mental kuat, kemampuan mengolah apa yang sudah kita miliki dan bagaimana menggunakan apa yang kita miliki untuk mencapai apa yang kita inginkan.

Saatnya Mengaudit Langkah

Hidup Adalah Sebuah Pilihan

Jika hingga detik ini Anda merasa sudah berusaha kemana-mana, sudah mengerahkan segala daya upaya yang paling optimum menurut perasaan Anda, sudah berdo'a dengan redaksi yang paling hebat, sudah menghubungi siapa saja yang menurut Anda pantas dihubungi, dan ternyata hasilnya masih jauh dari yang Anda inginkan, atau bahkan sama sekali tak match, maka ada satu hal yang penting untuk dihindari dan ada satu hal yang perlu untuk dilakukan.


Satu hal yang penting untuk dihindari adalah membiarkan diri kita larut, hanyut, dan tenggelam ke dalam kesedihan meratapi nasib yang menurut perasaan kita “kok jauhnya minta ampun banget” dengan impian kita. Alasan yang perlu kita sederhanakan antara lain bahwa selain bukan hanya kita seorang saja di dunia ini yang merasakan perasaan demikian, munculnya "bad-surprise" dalam nasib kita itu adalah sesuatu yang diizinkan Tuhan untuk ada di muka bumi ini.

Karena atas izin-Nya, maka ia ada dan terjadi bukan untuk sebuah kesia-sian belaka, melainkan ada kegunaan yang bisa dimanfaatkan, meskipun harus diakui bahwa menurut perspektif manusia, tentulah tidak ada dari kita yang menginginkannya; tidak ada yang ingin merasakannya; dan tidak ada yang ingin mengalaminya, selain juga tidak boleh mengharapkannya.

Lantas apa kegunaan itu? Sampai pada tahap ini, sering sekali kita melupakan satu hal bahwa yang dipersilahkan untuk memilih kegunaan tertentu itu adalah kita, bukan malah balik bertanya kepada dunia tentang apa gunanya atau malah memasang sikap apatis yang menolak untuk menggali kegunaan selain yang sudah kita rasakan. Penderitaan itu memang membuat manusia menderita, upset, hopeless, distress, frustasi, dan seterusnya, tetapi soal untuk apa itu akan kita gunakan, adalah pure pilihan kita.

Semua itu pilihan kita, mau digunakan untuk menghancurkan diri, atau untuk pembangkit energi. Mau dijadikan racun, atau dijadikan obat - meski obat seringkali pahit rasanya. Mau dijadikan bencana atau mau dijadikan lentera - pencerahan jalan hidup. Semua balik lagi terserah pilihan kita, manusia.

Satu hal lain lagi yang perlu kita ingat bahwa tentu saja untuk mengusahakan dan mewujudkan kegunaan positif itu lebih sulit dari pada memilih kegunaan yang negatif. Dunia ini mengajarkan bahwa untuk mendapatkan hal-hal positif, dibutuhkan inisiatif sementara untuk mendapatkan hal-hal negatif hanya dibutuhkan pengabaian dan membiarkan. Tetapi di sisi lain, dunia juga mengajarkan bahwa untuk berinisiatif, biasanya beban yang ditanggung satu ons tetapi dengan mengabaikan, beban yang kita tanggung bisa kelak menjadi satu ton.

Defining Moment

Satu dari sekian kegunaan positif yang sudah dipilih oleh orang-orang positif di dunia ini adalah menjadikan hal-hal buruk yang tidak diinginkannya sebagai "defining moment". Artinya, penderitaan yang dialami, entah itu besar atau kecil, dadakan atau berkepanjangan, dijadikan dorongan yang benar-benar tepat (pil) untuk melakukan perubahan, perbaikan, audit, dan seterusnya. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai moment untuk menaikkan standar prestasi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dalam kaitan dengan pembahasan kita kali ini, mungkin kita perlu menjadikan kenyataan buruk yang kita alami sebagai moment untuk meng-audit hal-hal berikut:

1. Sasaran yang kita tetapkan

Termasuk dalam cakupan sasaran di sini antara lain: cita-cita, keinginan, tujuan, target, dan seterusnya. Mengapa sasaran yang perlu diaudit? Jika kita tidak punya sasaran, ibaratnya seperti orang bingung sedang jalan-jalan. Jika kita punya sasaran tetapi telalu tinggi menurut ukuran riil kita, kegoncangan akan muncul. Jika kita turunkan terlalu rendah menurut ukuran riil kita, maka kemandekan mengancam.

Supaya kegoncangan yang kita alami tidak berkepanjangan, maka sasaran yang sudah kita teorikan di kepala perlu diaudit, entah itu diturunkan sementara, diperbaiki, diperjelas, dipendekkan, di-spesifik-kan, berdasarkan keadaan-diri kita pada hari ini. Meskipun ini tidak mengubah kenyataan buruk sedikit pun, tetapi kegoncangan batin yang kita alami sudah kita datangkan obatnya.

2. Cara, strategi, kebiasaan yang kita pakai

Hal lain yang perlu diaudit adalah cara, strategi atau seperangkat kebiasaan yang biasa kita gunakan selama ini untuk meraih sasaran yang kita inginkan dan ternyata masih gagal. Menurut hasil renungan Napoleon Hill, kebanyakan kita gagal usahanya bukan karena kita tidak mampu mewujudkan keberhasilan yang kita inginkan, melainkan karena kita mempertahankan satu cara yang sudah jelas-jelas gagal di lapangan.

Bahkan jika dilihat dari penjelasan firman Tuhan kepada kita semua, mempertahankan cara atau strategi yang sudah nyata-nyata gagal dan menolak untuk mengais cara lain, termasuk bukti dari keputusasaan kita terhadap rahmat-Nya, yang dalam bahasa agama sering disebut sesat atau gelap. Karena itu, yang diperintahkan kepada kita adalah meyakini adanya pintu lain yang sudah terbuka jika kita mendapati satu pintu yang tertutup. Sayangnya, terkadang kita terlalu lama memandangi pintu yang sudah nyata-nyata tertutup sehingga kita gagal menemukan pintu lain yang sudah terbuka.

Cara, strategi atau kebiasaan yang perlu diaudit, bukan semata yang dalam bentuk fisik, melainkan yang lebih penting lagi, adalah cara berpikir, strategi berpikir, kebiasaan berpikir atau sesuatu yang ada di dalam batin kita. Jim Rohn berpesan: “Semua yang ada di luar dirimu akan berubah jika kamu mengubah dirimu.” Hal ini karena semua kreasi fisik, entah itu tindakan atau hasil tindakan, awalnya diciptakan dari dalam batin kita (kreasi mental). Tindakan yang jitu lahir dari pikiran yang jitu, tindakan yang masih meleset lahir dari pikiran yang belum pas, kira-kira begitulah.

3. Orang, lingkungan atau jaringan yang kita masuki

Jika dalam bisnis perumahan ada kata pusaka yaitu: lokasi, lokasi, dan lokasi, maka dalam meng-audit langkah atau mengubah nasib kita, mungkin kata pusaka itu perlu diganti menjadi: orang, orang dan orang. Orang, lingkungan dan jaringan yang kita masuki, memang tidak membuat / mengubah kita menjadi apapun tetapi jika kita ingin mengubah diri dalam arti yang luas, maka ini perlu mengubah jaringan orang yang kita kenal, entah dengan cara menambah, mengurangi, memperluas, memperdalam hubungan, dan lain-lain.

Dengan mengubah jaringan orang yang kita kenal, maka ini akan menciptakan jalan bagi perubahan pola berpikir, strategi, kepercayaan, kebiasaan, pengetahuan, metode, dan seterusnya. Mungkin, saking pentingnya peranan orang itu bagi kita, sampai-sampai ahli filsafat bisnis Amerika, Jim Rohn, mengatakan: "Jika buku yang anda baca dan orang yang anda ajak bergaul sama, maka dalam lima tahun ke depan, kemungkinan besar nasib anda masih sama".

Untuk mengubahnya, sudah pasti membutuhkan modal, tetapi modal di sini tidak mutlak identik dengan uang yang banyak atau sejumlah modal yang saat ini tidak ada di tangan kita. Prakteknya sering membuktikan bahwa orang yang perlu masuk dalam daftar "jaringan" itu sudah disediakan Tuhan di sekeliling kita tetapi selama ini jarang kita perhatikan, jarang kita bedakan, jarang kita telaah, dan jarang kita gali.

Menjaga 3K

Menjalani hidup memang berbeda seribu derajat dengan membahas kehidupan. Dalam membahas kehidupan seperti dalam tulisan ini, enak saja kita mengganti, mengubah dan meng-audit langkah sekehendak kita, tetapi dalam menjalani, tentu saja tidak bisa kita meng-audit dan mengubah sekehendak kita. Hemat saya, ada sedikitnya tiga hal yang perlu dijaga seiring dengan keputusan kita untuk meng-audit dan memperbaharui langkah, yaitu:

1. Kebutuhan

Kata orang yang sudah sering kita dengar, kebutuhan itu tidak mengenal kata nanti, bahkan ampun pun tidak. Ungkapan lain mengatakan bahwa lebih enak ngomong sama orang yang marah ketimbang ngomong sama orang yang lapar. Ini semua menunjukkan bahwa kebutuhan itu tidak bisa diganggu-gugat dan karena itu, agenda apapun yang akan kita jalankan, hendaknya jangan sampai menganggu aktivitas kita dalam memenuhi kebutuhan. Atau dengan kata lain, hendaknya kita tetap menjalankan aktivitas yang sasarannya untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya tidak bisa diganggu-gugat di tengah-tengah kesibukan kita memikirkan tiga hal yang perlu diaudit di atas. Jika kebutuhan ini terancam, maka kita semua sudah tahu akibatnya.

2. Keinginan

Meskipun kebutuhan itu tidak mengenal ampun dan kata nanti, tetapi jika pikiran ini terlalu kita fokuskan hanya untuk kebutuhan, hanya apa adanya, tanpa visi, tanpa imajinasi, tanpa cita-cita, tanpa keinginan, maka Mohamad Ali mengibaratkan seperti seandainya bumi ini tanpa langit: kering dan gelap. Marylin King, mantan seorang atlet, menyimpulkan:

"Astronot, atlet dan eksekutif perusahaan memiliki tiga hal kembar. Mereka punya sesuatu yang sangat berarti bagi mereka; sesuat yang benar-benar ingin mereka lakukan. Kami menyebutnya gairah. Mereka memandang tujuan dengan sangat jelas dan mengimajinasikannya secara ajaib sehingga tampak begitu kuat dan mereka membayangkan dirinya menapaki langkah-langkah kecil dalam perjalanan menuju tujuan itu. Kami menyebutnya visi. Akhirnya mereka melakukan sesuatu setiap hari, sesuai dengan rencana yang akan membawa mereka selangkah lebih dekat ke mimpi mereka. Kami menyebutnya aksi".

Artinya, selain kita perlu memprogam aktivitas yang sasarannya kebutuhan, kita pun perlu memprogram aktivitas yang sasarannya adalah mewujudkan keinginan (visi, cita-cita, dst.) yang belum terwujud atau beru terwujud sebagian, agar tidak kering dan gelap (demotivator dan apatis), seperti bagaikan bumi tanpa langit, bagaikan burung tanpa sayap, bagaikan mobil yang rodanya terpendam lumpur "kebutuhan".

3. Kelancaran

Tak cukup sepertinya jika kita hanya memprogram aktivitas yang kita lakukan hari ini semata untuk sasaran kebutuhan dan keinginan. Ada satu hal lain yang perlu kita programkan, yaitu mengatasi masalah-masalah, entah itu tehnis, hubungan, dan lain-lain yang kedatangannya tidak diundang. Membiarkan masalah, bukan berarti menghilangkan masalah.Tetapi jika kita mengerahkan seluruh pikiran dan aktivitas kita hanya untuk mengurusi masalah, maka keinginan dan kebutuhan kita akan yatim, yang juga masalah.

Jadi, menurut nasehat Anthony Robbins, gunakan 10% saja untuk memikirkan masalah (what and why), lalu gunakan sisanya untuk memikirkan pemecahan masalah (how). Tenggelam dalam memikirkan masalah, justru malah akan membuat kita bermasalah. Nasehat lain bisa kita dengarkan dari Brian Tracy, seorang konsultan SDM, yang mengatakan: "Bukan dimana saat ini kita berada; yang menentukan kita, melainkan ke mana langkah ini akan kita gerakkan". Masalah tidak membuat kita keman-mana tetapi apa yang akan kita lakukan terhadap masalah itu akan menentukan di manan nanti kita berada.

Dengan belajar menjalani tiga hal di atas, minimal kita tidak perlu bertengkar dengan kenyataan yang ada di hadapan kita, pun juga kita tidak tenggelam di dalam kenyataan itu, serta tidak terhanyut ke dalam memikirkan masalah siang dan malam. Sekali lagi perlu kita ingat, ini baru membahas kehidupan, belum masalah menjalani kehidupan. Selamat menjalankan.

Menangkap Kebahagiaan

Pernahkah Anda merasa begitu kecil di tengah dunia yang semakin terlihat gemerlap? Atau, apakah Anda menghela nafas melihat para ABG mengikuti berbagai kontes kecantikan di televisi untuk mendapatkan kekayaan sementara beribu anak lain terlantar di negeri ini? Kesenjangan antara si kaya dan si miskin memang begitu nyata namun menjadi selebritis atau terkenal adalah hak setiap insan. Jika nurani Anda terusik, Anda harus bersyukur masih memiliki rasa itu. Namun jika Anda selalu merasa tidak puas pada apa yang telah dicapai kini, mungkin Anda mengalami deprivasi relatif.

Deprivasi Relatif (Relative Deprivation,selanjutnya disebut RD)

Manusia adalah makhluk sosial di samping juga sebagai pribadi yang unik, psikologi telah meyakinkan dalam berbagai studi bahwa tidak ada satu pun orang yang sama, meski terlahir kembar identik. Sebagai makhluk sosial, siapapun Anda membutuhkan orang lain untuk berbagi, bercanda, bercerita, berdiskusi bahkan bertengkar (it takes two to tango!). Dalam berinteraksi, adalah wajar jika terjadi pembandingan-pembandingan terhadap perbedaan yang ada, itu pula yang akan memacu seseorang untuk berusaha lebih dan lebih lagi. Hal ini dikenal sebagai stres positif atau eustress namun adakalanya Anda mundur dan merasa begitu tersiksa, inilah distress atau stress negatif di mana stressor (pemicu stress) lebih sebagai penghalang bukan tantangan.
Anda mungkin tidak hanya menjadi tertekan atau stres, Anda bisa saja mengalami RD saat apa yang Anda dapat jauh berbeda dengan yang diinginkan. Seperti dinyatakan oleh Gurr & Crosby,

"RD is a perceived discrepancy between an individual’s subjective 'value expectations' and 'value capabilities'. Value expectations' denote the goods and conditions to which individu believe they are rightfully entitled; and value capabilities' refers to the goods and conditions of life they think they are capable of attaining."(dalam Walker & Pettigrew,h.4,2003)

Teori ini pertama digagas oleh Stouffer, dkk tahun 1949 dalam terma masyarakat, artinya suatu kelompok masyarakat juga bisa mengalami RD terhadap kelompok lain, masa lalu atau kategori sosial lain. Gurr & Crosby pada tahun 1970 kembali menformulasi dalam terma individu. Jadi RD merupakan suatu kesenjangan yang dialami tidak hanya secara personal namun juga kolektif.

Tidak dapat disalahkan sepenuhnya jika Anda merasa kurang dan kurang, karena dunia semakin mengglobal, konsumerisme semakin merajalela, dunia terasa instan. Televisi juga turut memicu RD, lihat saja berbagai sinetron glamor yang bisa ditonton siapa saja baik di metropolitan atau pelosok desa, sangat mungkin jika seseorang yang awalnya 'damai' dalam kesederhanaan menjadi resah karena tidak memiliki benda mewah.

Lalu bagaimana jika teman Anda menuduh, bahwa itu salah Anda sendiri yang terlalu tinggi berangan-angan? Jangan dulu marah, karena sesungguhnya setiap orang hidup dengan dua motivasi dasar yaitu kebutuhan untuk beradaptasi dan untuk menjadi diri sendiri (aktualisasi diri), menurut Allport (dalam Fiest & Fiest,2002):
People are driven both by the need to adjust and by the tendency to grow or to become more and more self-actualized. Adjustment needs and growth needs exists side by side within the same person. (Allport dalam Fiest & Fiest, h. 420, 2002)

Garin Nugroho juga menyatakan bahwa manusia sesungguhnya akan selalu dihadapkan dengan ciptaan dan penemuan manusia itu sendiri (1998). Jika seminggu yang lalu Anda masih tidak mau memiliki telepon selular karena merasa tidak pernah 'kemana-mana' dan hari ini Anda terpaksa pergi ke kawasan Roxy untuk membeli hp setelah teman dan saudara Anda mengeluh, "Aduuh...dari hp ke telepon rumah kan mahal, kalo ada hp kan tinggal sms aja!", itu salah satu jawaban dari cipta karya anak manusia itu sendiri.

Lalu, apakah kemudian menjadi bahagia adalah harus mahal? Meyers mencoba meyakinkan Anda dalam Psychology Today, menurutnya, usia, ras, atau penghasilan sama sekali bukan petunjuk seseorang bahagia atau tidak. Meski tidak ada satu rumusan pasti, Meyers mencoba memberi beberapa tips:

a. Tidak ada kebahagiaan abadi

Bayangkan suatu saat Anda berhasil mendapatkan bea siswa ke luar negeri setelah empat kali mencoba, senang? Pasti, mungkin Anda akan berteriak girang dan ingin semua orang tahu, tapi yakinlah itu tidak akan terus terjadi, satu atau mungkin dua minggu kemudian perasaan Anda akan kembali seperti sedia kala, masa euforia berakhir juga. Pendapatan penduduk Amerika kini dua kali lipat lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 1957, tapi apakah tidak ada orang depresi? Tidak juga, bahkan krisis moneter di Indonesia tidak selamanya membuat kita melipat wajah kan? Maka Meyers menyarankan untuk tidak perlu merasa iri pada kekayaan, karena menurutnya,”happiness is less a matter of getting what we want than wanting what we have.”

b. Nikmati tiap detiknya...

Hampir setiap orang berlomba untuk menyiapkan masa depan sebaik-baiknya, bahkan di kota metropolitan ini matahari seringkali 'kalah', mungkin Anda salah satu yang sering berlari sebelum mentari muncul dan kembali ke rumah saat mentari terlelap. Sadarkah bahwa kita seakan-akan tidak hidup di masa kini tapi berharap untuk hidup seperti juga mempersiapkan kebahagiaan, bukankah tidak seharusnya selalu begitu. Kebahagiaan tidak berada nun jauh di sana, coba sejenak tengok bunga mawar di taman depan, atau senyum si kecil yang mengusik Anda kala menyiapkan presentasi, sudahkah Anda merasakannya?

c. Kendalikan waktu

Salah satu cara agar lebih merasa berkuasa adalah dengan mengendalikan waktu Anda. Psikolog dari Universitas Oxford, Michael Argyle mengatakan, "For happy people, time is 'filled and planned', for unhappy people time is unfilled, open and uncommitted; they postpone things and are inefficient". Agar efektif lakukan rencana besar dalam rencana-rencana kecil. Menyusun laporan dalam satu malam mungkin bisa Anda kerjakan tapi pasti lebih membuat lelah, akan lebih ringan jika Anda telah menyiapkan bahan-bahan untuk laporan tiga-empat hari sebelumnya.

d. Berlaku bahagialah

Bisa juga mencoba salah satu prinsip dalam psikologi sosial: We are as likely to act ourselves into a way of thinking as to think ourselves into action. Dalam satu eksperimen, orang yang berpura-pura memiliki percaya diri tinggi ternyata dapat merasa lebih baik, bahkan saat mencoba ekspresi tersenyum.

e. Manfaatkan waktu luang

Adakalanya seseorang merasa tertekan dan stres, di saat lain bisa juga merasa bosan dan tidak bersemangat (underchallanged), di antara keduanya ada zona yang disebut 'flow' (mengalir) oleh Mihaly Csikszentmihalyi, psikolog dari Universitas Chicago. Pada zona ini seseorang merasa tertantang namun tidak terlalu cocok sehingga ia 'tersedot' dan tanpa sadar kehilangan waktunya. Csikszentmihalyi melihat orang menemukan pengalaman menyenangkan dalam zona ini, dan bisa memperpanjang waktu luang. Ironisnya lebih banyak waktu luang yang tersedia untuk begitu saja mengalir. Orang lebih suka menghabiskan waktu di depan layar tv dan biasanya tidak mendapatkan sesuatu yang berguna. Padahal ada banyak yang bisa dilakukan seperti merapikan taman, mengundang teman, main bola dengan si kecil, jalan-jalan sejenak dengan keluarga atau menulis surat pada sahabat lama maka Anda akan lebih mendapatkan kesenangan

f. Olah raga

Beberapa studi menunjukkan erobik dapat mencegah depresi ringan dan kecemasan. Pilihan olah raga bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing orang, sebab dalam satu survai dilaporkan jika kondisi fisik membaik, orang akan cenderung lebih percaya diri, tidak stres dan lebih bersemangat

g. Cukup istirahat

Resep utama untuk berenergi, salah satunya dengan menjalani hidup dengan tersenyum, karena itu sisihkan waktu untuk tidur dan istirahat yang cukup agar bangun dalam kondisi bugar dan semangat

h. Jalin persahabatan

Tidak ada yang dapat menangkal ketidakbahagiaan dari pada persahabatan yang erat dengan seorang yang benar-benar memperhatikan dan menyayangi Anda. Mereka yang memiliki banyak teman dekat untuk berbagi, bercerita cenderung lebih berbahagia dan sehat. Karenanya Meyers menyarankan bagi yang telah menikah untuk lebih menetapkan hati dan berikan yang terbaik bagi pasangan, dukung dan berbagi dalam cinta maka Anda berdua akan merasa lebih muda

i. Menjaga rohani

Faith doesn’t promise immunity from suffering, but it does enable a streghthened walk through valleys of darkness. Semua yang terjadi adalah kehendak-Nya, menjalin hubungan yang erat dengan sang pencipta merupakan sandaran yang menjanjikan, seperti juga dikatakan Meyers di atas bahwa keyakinan tidak berarti Anda bebas dari derita namun keyakinan akan menolong melewati semua itu.


Ternyata banyak hal yang bisa membuat kita tersenyum di setiap jengkal kehidupan ini. Penulis pernah membaca satu buku yang menceritakan seseorang yang selama hidupnya merasa akan bahagia jika memiliki A dan setelah mendapatkannya ia kembali akan merasa bahagia jika mendapatkan B, begitu seterusnya sampai akhirnya tertulis di batu nisan, "Telah meninggal seorang yang akan berbahagia". Tentu kita tidak ingin seperti itu, jadi mulailah untuk menemukan kebahagiaan di mana pun dan kapan pun. Penulis pun senang dapat berbagi tips dengan Anda, semoga berguna.

Smile... and the world will smile for you...

Kamis, 27 September 2007

Pemahaman Hidup Anda

Pemahaman anda (cara anda memandang dan mengerti akan segala sesuatu) adalah garis pembatas yang membentuk sebuah pigura di mana anda berada di dalamnya. Ruangan yang diluar garis pembatas tersebut adalah dunia dan isinya. Bagaimana anda memahami segala sesuatu tergantung sepenuhnya dengan ukuran pigura tersebut dibuat. Keterbatasan yang anda pahami sebagai takdir atau bukan takdir pada prakteknya lebih mengisyaratkan adanya keterbatasan anda memahami sesuatu yang anda ciptakan sendiri. Ketika pemahaman menyeluruh sudah anda dapatkan, maka secara otomatis keterbatasan tersebut hilang. Tentu keterbatasan yang dimaksud adalah keterbatasan dalam konteks kemanusiaan-duniawi. Ketika pemahaman sudah anda miliki, maka tugas anda adalah menentukan pilihan, bukan ditentukan.

Memahami bagaimana dunia dan isinya ini bekerja memiliki implikasi langsung pada situasi konkrit tertentu di dalam hidup anda, terutama berhubungan dengan kemajuan dan kemunduran atau kesuksesan dan kegagalan. Oleh karena itu pemahaman perlu disempurnakan atau didinamiskan menurut perkembangan situasi yang anda hadapi. Kuncinya adalah menerima perubahan dunia dari satu titik ke titik berikutnya sebagai materi untuk mengembangkan diri alias memperluas ukuran pigura anda.

Alasannya sangat mendasar ketika pemahaman anda tentang obyek kehidupan ini stagnant sementara realitas eksternal dinamis maka pemahaman anda mandul alias tidak bekerja menciptakan kemajuan melainkan jalan di tempat. Dari sinilah awal dari semua yang anda namakan problem, yaitu ketika pemahaman konseptual tidak lagi sejalan dengan realitas eksternal. Gap tersebut menciptakan sikap yang membenarkan kenyataan secara pasif atau sikap menyatakan kebenaran yang bertentangan dengan kebenaran lain.

Dalam rangka menciptakan pemahaman yang sinergis dengan perkembangan situasi, maka terlebih dahulu anda perlu memahami dari mana pemahaman hidup anda diciptakan. Dengan mengetahui sumber-sumber pemahaman dan memahami bagaimana cara kerjanya, maka jalan untuk mengauditnya akan terbuka lebar. Berikut adalah sebagian dari sumber dominan di mana anda memperoleh pemahaman hidup dan bagaimana individu dapat mengaplikasikannya ke dalam situasi konkrit.

1. Hukum Universal

Hukum Universal mengandung kebenaran yang diartikulasikan ke dalam pesan-pesan moral yang sifatnya generally applicable (berlaku umum). Selain itu, hukum tersebut juga merupakan kebenaran mutlak yang tidak memberi hak siapa pun untuk mengubahnya. Institusi yang paling banyak mengungkapkan kebenaran tersebut adalah agama-agama, kepercayaan, tradisi, atau sebagian dari adat istiadat. Kebenaran mutlak jelas berupa kebenaran langit dan supaya dapat didistribusikan ke bumi ia membutuhkan tool atau alat bantu agar bisa menciptakan penafsiran, pemahaman, persepesi, paradigma mental, dan karakter behavioral.

Ketika sudah berbicara tool, pemahaman, interpretasi, atau paradigma, maka hakekatnya tidak berlaku lagi kemutlakan melainkan choice dan consequence (pilihan dan konsekuensi). Intinya hidup anda bukan dibentuk oleh kemutlakan tetapi pilihan, meskipun anda memilih meyakini kemutlakannya. Pertanyaannya, sejauhmana pilihan anda bekerja membentuk kemajuan secara positif? Jika pilihan anda tidak bekerja membentuk kemajuan positif tidak berarti kandungan kemutlakan dari kebenaran langit telah berkurang, tetapi tool anda yang sudah kadaluwarsa sehingga ia bukan software yang memberi support tetapi virus yang menjadi penghambat. Maka tugas anda adalah mengganti kelayakan alat bantu yang telah dipilih agar dapat menghasilkan pemahaman hidup yang produktif atau sinergis dengan situasi hidup anda.

Lalu, bagaimana memilih tool yang produktif? Tool yang masih berupa mitos dalam arti menafikan proses-proses ilmiah dan alamiah yang menjadi ciri khas ilmu dan tehnologi terbukti tidak memiliki daya ledak tinggi untuk meruntuhkan konstruksi realitas, bahkan terjadi seakan-akan missing-link dengan realitas. Sehingga misi kebenaran langit yang mestinya untuk memperbaiki manusia justru membelenggunya. Tidak heran jika terjadi fenomena di mana seseorang menggunakan ajaran agama saat beribadah tetapi ketika mencari makan ia menggunakan ajaran komunisme atau atheisme. Agama, ajaran moral – dipahami - tidak mendukungnya untuk menjadi kaya.

2. Hukum Personal

Di dalam diri anda sebagai "the person" yang utuh telah diciptakan dua kekuatan yang berlomba merebut posisi kepemimpinan atas kehidupan anda. Kekuatan pertama berupa The Self dan kedua berupa The Ego. The Self adalah kekuatan yang memberi instruksi agar anda memahami diri, menjadi diri dan menjadi master bagi diri anda: "To Know, To become, and To be". Dialah yang menciptakan pemahaman bahwa kehidupan eksternal ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan internal. The Self berbicara tentang sesuatu yang sebenarnya anda kehendaki dan menjadi hak sehingga dalam banyak redaksi doa, The Self adalah permohonan tentang kehidupan surga.

Tidak demikian halnya dengan The Ego. Kekuatannya berupa instruksi untuk mendorong anda menyerahkan naskah hidup asli kepada pihak lain dengan kompensasi anda menggunakan naskah hidup mereka. Kekuatan inilah yang menyuntikkan drug bahwa kehidupan eksternal tidak dipandu oleh kekuatan internal sehingga pada gilirannya sang diri hilang, lenyap tanpa kekuatan dan suara. The Ego adalah bentuk ketergantungan terhadap kekuatan eksternal. Ia adalah bentuk penghindaran yang sering anda ucapkan dalam doa-doa.

Para ahli mendapatkan temuan bahwa mayoritas dari anda hanya menggunakan kekuatan minimal ketika urusannya berupa 'menginginkan sesuatu' dan baru bisa mengeluarkan secara maksimal ketika 'menghindar dari sesuatu', apalagi jika konsekuensinya hidup - mati. Dari temuan tersebut disimpulkan bahwa pembeda antara orang genius dengan orang biasa bukan terletak pada kadar potensi atau kemampuan yang diturunkan sejak lahir, tetapi bagaimana menggunakan kemampuan atau potensi tersebut dengan cara-cara tertentu dan maksimal (William W. Hewitt, 1994, dalam "The Truth About Mind Power").

Contoh nyata individu yang dapat dijadikan contoh dalam menggunakan potensi secara maksimal dengan cara-caranya yang khusus adalah Thomas A. Edison. Mungkin anda bertanya-tanya apakah makhluk seperti Edison atau para avatar lainnya sudah dicetak untuk berbeda dengan anda? Awalnya adalah sama. Ia tetap memiliki fluktuasi emosi antara kecewa dengan kegagalan dan bahagia dengan kesuksesan bahkan mungkin sempat putus asa. Bahkan sekolahnya Edison dikenal sebagai siswa yang tidak memiliki prestasi gemilang sehingga akhirnya sang guru bosan merawatnya. Lalu kekuatan apakah yang terus mendorongnya sehingga rintangan apapun tidak bisa menghambatnya? Kuncinya adalah menemukan cara bagaimana menggunakan mengeluarkan kekuatan The Self sebanding dengan kekuatan The Ego. Apa diraih Edison, tidak mustahil dapat juga diraih oleh anda seandainya etos kerja atau motivasi anda belajar menggunakan energi yang anda gunakan untuk bercinta? Jika ini yang terjadi maka pastilah akan muncul kegigihan yang tidak sanggup dibendung oleh diri anda sendiri.

Sayangngya dalam kehidupan nyata banyak individu yang lebih didominasi oleh kekuatan The Ego sehingga diri sendiri bukanlah sesuatu yang menjadi sumber segala kekuatan melainkan kekuatan eksternal atau dominasi pemahaman yang tidak produktif. Walhasil ancaman lebih punya peranan dominan ketimbang keinginan meraih sesuatu. Individu lebih terfokus pada menghindari kesengsaraan hidup ketimbang meraih kemakmuran; menciptakan kekhawatiran untuk dipecat ketimbang menciptakan prestasi kerja yang gemilang; mendewakan tahayul “jangan-jangan” ketimbang keyakinan untuk meraih kesuksesan, kesehatan, kebahagian, dst.

3. Hukum Lingkungan

Lingkungan diversikan ke dalam berbagai ungkapan bahasa mulai dari keluarga, saudara, relasi, persahabatan dan lain-lain di mana masing-masing memiliki instruksi berupa instruksi psikologis dan instruksi keadaan yang sifatnya ditawarkan. Andalah yang pada akhirnya menentukan keputusan itu meskipun sayangnya keputusan anda adalah keputusan dengan tidak memutuskan apapun. Di samping memiliki pengaruh di mana semua manusia tidak bisa melepaskannya, lingkungan juga memiliki standard asumsi, persepsi atau penilaian tentang bagaimana lingkungan tersebut melihat dunia. Seorang penakluk tembok raksasa China dieluk-elukan bagai raja ketika ia memasuki perkampungan di mana masyarakatnya punya penilaian seorang jagoan yang perkasa tetapi ketika ia memasuki kampung yang berbeda, ia dianggap orang gila: "Mengapa tembok sepanjang itu ia taklukkan?"

Pendek kata, pemahaman anda tentang hukum lingkungan punya hubungan kausalitas dengan bagaimana anda ingin diperlakukan dan bagaimana anda memperlakukan orang lain. Jika levelnya keinginan, tentu saja anda menginginkan bentuk perlakuan terhormat atau sesuai dengan yang anda inginkan. Semua manusia bahkan hewan pun sama tetapi kuncinya terdapat pada pemahaman anda terhadap instruksi psikologis dan keadaan yang menciptakan perbedaam diametral antara anda dimanfaatkan dan dihormati; antara anda menjadi korban lingkungan dan menciptakan adaptasi.

Kenyataan yang sulit dipungkiri adalah bahwa anda membutuhkan lingkungan untuk menciptakan kemajuan hidup. Tetapi di sisi lain, anda memerlukan upaya membersihkan diri dari pengaruh yang diciptakan oleh pembawaan umum lingkungan yang bisa menjadi penghambat bagi kemajuan hidup anda. Pembawaan umum itulah yang oleh Samuel A. Malone dalam Mind Skill for Manager disebut Conformity yang menjadi ancaman kreativitas untuk merealisasikan keunggulan anda. Menurut Advance Dictionary, Conformity adalah "Action or behavior in agreement with what is usual, accepted or required by custom". Dengan kata lain, konformitas adalah ketakutan untuk menjadi diri sendiri yang berbeda dengan orang lain karena didorong oleh oleh keinginan untuk diterima oleh lingkungan.

Kualitas pemahaman instruksi lingkungan dengan begitu sebanding dengan kualitas kecerdasan bersikap saat anda menjatuhkan kartu hidup. Ketika anda larut ke dalam konformitas, maka bukan penghormatan yang akan anda terima, melainkan pemanfaatan. Saat itulah kebaikan yang anda berikan bisa jadi kebodohan yang anda lakukan. Bahkan lingkungan tidak memiliki makna kualitas apapun ketika anda tidak menemukan peluang belajar mengisi muatan pikiran sukses dari orang yang lebih atas; atau ketika anda tidak menemukan celah mengukur kemajuan dari orang yang sepadan; atau ketika anda tidak bisa membangun empati dari orang yang lebih rendah.

Dengan melihat dan memahami bagaimana hukum-hukum tersebut diatas berproses maka diharapkan anda dapat mengaudit pemahaman anda sehingga pigura anda semakin bertambah besar. Jika anda merasa memiliki pemahaman hidup yang keliru maka secepat mungkin mulailah mengubah cara pandang anda tersebut sebelum kekuatan eksternal mengambil alih kendali hidup anda.

Membedakan Workaholic & Bekerja Keras

Kerja Keras & Workaholic
Apakah kita seorang workaholic? Jawabannya memang agak susah. Kenapa? Karena terkadang susah membedakan antara bekerja keras dan maniak kerja (workaholic). Bahkan, menurut beberapa peneliti, yang bersangkutan sendiri jarang tahu atau jarang sadar. Secara umum orang mengatakan workaholic itu tidak sehat (negatif), sementara bekerja keras itu sehat (positif).

Kalau membaca definisi yang ditawarkan kamus-kamus bahasa Inggris, umumnya workaholic itu mengandung unsur "compulsive" atau "addictive". Compulsive sendiri bisa digambarkan seperti seolah-olah ada tekanan atau paksaan batin di dalam diri seseorang untuk terus bekerja. Sedangkan addictive itu ya kecanduan atau ketagihan (umumnya dikonotasikan) oleh hal-hal negatif, seperti misalnya rokok, narkoba, dan lain-lain.

Dari beberapa literatur yang saya baca, ciri-ciri umum yang dominan dari seseorang yang keranjingan kerja (workaholic) itu, antara lain di bawah ini:

Workaholic itu mengabaikan hal-hal lain yang penting dalam hidup menurut ukuran normalnya manusia. Hal-hal yang penting itu misalnya keluarga, kesehatan, anak, istri atau suami, dan semisalnya. Nilai apapun di dunia ini menggariskan bahwa keluarga itu adalah sesuatu yang penting bagi manusia. Jika kita punya kebiasaan kerja yang membuat kita melupakan keluarga, itu berarti perlu kita waspadai jangan-jangan yang kita lakukan bukan bekerja keras, melainkan workaholic.

Workaholic itu susah mendelegasikan tugasnya atau pekerjaannya kepada orang lain. Ini ditulis oleh kolomnis Career Journal Dot Com, Dana Mattioli, (2007). Orang yang tidak bisa mendelegasikan pekerjaannya kepada orang lain pada porsi dan kondisi yang memang harus / bisa didelegasikan itu umumnya adalah orang yang tidak bisa mempercayai orang lain dengan alasan-alasan yang kurang ada faktanya. Bisa juga mungkin karena too much perfectionism. Segala sesuatu yang mengandung unsur "too much" ini juga tidak sehat secara emosi.

Workaholic itu hanya merasa "terlalu asyik" dengan pekerjaan, tetapi tidak jelas apa yang dikerjakan dan apa yang ingin diraih dengan pekerjaannya itu. Ada yang mengamati bahwa workaholic itu tidak terang-terangan mengatakan apa yang dikerjakan dan pekerjaannya. Bahkan ada yang mengatakan workaholic itu tidak bisa meneguk kebahagian dari pekerjaannya.

Ini yang menurut hemat saya perbedaan yang perlu disadari bedanya. Orang yang bekerja keras memang asyik dengan pekerjaannya, namun keasyikannya itu sangat berasalan. Alasannya adalah untuk merealisasikan target-target yang dinamis. Siapapun yang membaca riwayat hidup Edison akan menyimpulkan Edison sebagai pekerja keras: membaca, bereksperimentasi, bertemu dengan orang lain, dan lain-lain. Nasehat Edison yang sangat tepat di sini adalah: "Jangan hanya menenggelamkan diri pada kesibukan tetapi lupa menanyakan tujuan dari kesibukan itu."

Kalau membaca buku yang ditulis Charles Garfield (1986), Peak Performer, memang klop. Charles menceritakan hasil observasinya terhadap sejumlah sosok yang tiba-tiba hebat di belantara bisnis di Amerika. Observasinya menyimpulkan ada enam atribut yang dimiliki oleh sosok yang dia bilang tiba-tiba hebat itu (the new heroes of American business). Keenam atribut itu adalah:

- Punya misi yang benar-benar menggerakkannya untuk melakukan aksi
- Punya sasaran yang jelas-jelas ingin diraihnya dari setiap aksi
- Punya kemampuan "self-management" yang bagus dengan mengoptimalkan kapasitas personalnya
- Punya kemampuan yang bagus dalam team building
- Punya kemampuan yang bagus dalam mengoreksi tindakannya
- Punya kemampuan yang bagus dalam menyiasati / beradaptasi dengan perubahan


Ciri-ciri workaholic lain yang mungkin juga perlu dikenali adalah:
- Kita tidak memiliki batasan mental yang jelas antara urusan rumah dan urusan kantor
- Dimanapun kita berada, yang menjadi top priority di kepala kita adalah urusan pekerjaan
- Kebahagian kita hanya terasakan ketika bersentuhan dengan pekerjaan
- Kita merasa stress dengan urusan pekerjaan
- Kita tidak tertarik dengan hal-hal yang berbau fun atau entertainment karena urusan pekerjaan
- Kita memikirkan pekerjaan meskipun kita sedang liburan

Salah satu kunci penting untuk menilai diri apakah kita ini seorang pekerja keras atau sudah workaholic itu adalah keseimbangan. Inilah prinsip hidup yang sudah menjadi hukum, baik untuk manusia atau alam. Artinya, segala sesuatu yang sudah menganggu keseimbangan kita sebagai makhluk yang normal, itu berarti ada sesuatu yang perlu diluruskan. Kata seorang ahli hikmah, segala sesuatu yang sudah berlebihan (too much), biasanya akan memantulkan kebalikannya. Kerja keras itu bagus, tetapi terlalu kerja keras (workaholic), itu berpotensi tidak bagus.


Sebab-sebab
Apa yang menyebabkan kita punya kebiasaan workaholic? Kalau dijelaskan secara detail dan spesifik mungkin banyak. Di sini saya hanya akan menyentuh sebab-sebab umum saja. Bicara soal sebab-sebab umum ini, hal-hal yang perlu kita lihat antara lain adalah:

Pertama, pelampiasan / pelarian. Pekerjaan bagi orang yang bekerja keras adalah aktualisasi-diri. Istilah agamanya disebut ibadah. Pekerjaan dipahami sebagai ruangan untuk menunjukkan kebolehan, karya, atau aktualisasi potensi. Tapi, untuk sebagian orang yang terkena workaholic, pekerjaan itu dipahami sebagai pelampiasan yang paling aman atau pelarian dari persoalan hidup yang "kurang membahagiakan" di tempat lain. Bisa saja orang melampiaskan ketidakbahagiannya dengan keluarga pada pekerjaan. Karena tidak menemukan kebahagian di tengah keluarga, orang itu lantas berpikir keluarga bukanlah sesuatu yang penting.

Kedua, tidak bahagia dengan pekerjaan. Lho apa mungkin terjadi? Ini sangat mungkin terjadi. Karakteristik yang paling menonjol dari orang yang bahagia dengan pekerjaannya adalah adanya dinamika yang progresif di dalam batinnya. Ini sama seperti orang yang bahagia dengan dirinya. Orang yang bahagia dengan pekerjaannya itu punya target, sasaran, atau tujuan-tujuan yang dinamis. Bila suatu target sudah tercapai, ada target lain lagi yang ingin dicapainya secara bertahap.

Ini agak beda dengan sebagian orang yang terkena workaholic. Mungin karena tidak menemukan kejelasan di pikiran tentang apa yang ingin dicapainya, bagaimana mencapainya, apa yang harus dilakukan untuk mencapainya, akhirnya semua "kebingungan" itu dilampiaskan ke dalam aktivitas yang bertujuan hanya untuk beraktivitas. Inilah alasan kenapa workaholic itu mengandung unsur compulsive atau addictive.

Dari penjelasan pakar di bidang karir yang saya tangkap, orang yang tidak punya dinamika batin yang dinamis terhadap pekerjaannya akan mengalami dua kemungkinan. Secara batin, kemungkinan pertama adalah batin yang bergejolak. Ini ditunjukkan ke dalam bentuk keinginan untuk pindah profesi atau pekerjaan tanpa alasan yang jelas. Kemungkinan kedua adalah batin yang sudah apatis, masa bodoh, pasrah pada realitas.

Ketiga, kalah oleh nafsu. Tidak semua orang yang terkena workaholic itu tidak bahagia dengan pekerjaannya atau profesinya. Tidak semua juga karena ada unsur pelampiasan. Bisa jadi ada yang karena kalah oleh nafsu. Nafsu sendiri itu apa? Nafsu diambil dari bahasa Arab (Nafs). Artinya ada dua, yaitu: jiwa (the self) dan nafsu dalam arti hawa nafsu. Hawa sendiri artinya keinginan atau jatuh dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.

Meminjam istilah yang dipakai oleh Prof. Nurcholish Madjid (1993), hawa nafsu itu adalah keinginan-diri yang di dalam bahasa ilmu pengetahuannya disebut subyektivitas pribadi yang berlebihan. Berlebihan di sini batasannya adalah sudah mengalahkan pertimbangan akal sehat atau sudah mengalahkan suara-suara kesadaran positif.

Terminologi lain yang kira-kira sama pengertiannya dengan hawa nafsu adalah setan atau suara setan. Setan sendiri punya dua pengertian. Ada setan dalam pengertian makhluk dan ada setan dalam pengertian energi negatif yang tidak sanggup kita kontrol. Secara bahasa, setan (Arab: syaiton) sendiri artinya adalah sesuatu yang menjauhkan kita dari kebaikan.

Kalau melihat literatur Psikologi, ada penjelasan yang kira-kira isinya sama. Ini misalnya penjelasan milik Freud di mana manusia itu ada Id-nya, ada Ego-nya dan ada Super Ego-nya. Id adalah dorongan (motive and drive) yang hanya mementingkan kesenangan dan kebanyakan melawan suara Super Ego. Super Ego adalah dorongan yang telah dibimbing oleh nilai-nilai, norma, dan keteladanan orang lain. Id umumnya memiliki dua insting, yaitu: a) Eros: Insting seseorang yang memotivasi untuk mendapatkan kesenangan (pleasure principle), b) Thanatos: Insting yang memotivasi seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan agresif yang berpotensi merusak (Freud's Personality Factor, www. changingmind.org)

Terkait dengan hawa nafsu itu, bentuk-bentuk subyektivitas pribadi yang gagal kita kontrol itu misalnya antara lain:

- Ambisi yang berlebihan untuk mendapatkan sesuatu. Punya motivasi yang kuat untuk merealisasikan visi hidup atau bekerja keras, ini positif atau suara Tuhan. Tapi, ambisi yang berlebihan sampai membuat kita melupakan hal-hal penting adalah hawa nafsu atau suara setan. Ini karena akan menjauhkan kita dari kebaikan.

- Filsafat hidup hedonis yang berlebihan (larut pada gemerlapnya dunia). Mengoptimalkan penggunaan resources yang sudah ada di depan mata untuk merealisasikan kesejahteraan hidup yang kita impikan adalah positif, suara akal sehat, atau suara Tuhan. Mengatur ritme hidup dengan berekreasi atau menikmati weekend sebagai upaya untuk mempositifkan pikiran adalah positif. Tapi, berfoya-foya atau hedonisme yang berlebihan adalah negatif atau suara nafsu.

- Mengejar target pribadi untuk menjadi the best di bidang kita berdasarkan kompetensi yang kita miliki, tentu ini positif. Inilah yang diperintahkan Tuhan. Tapi, memunculkan naluri kesombongan dalam bentuk misalnya kita tidak rela ada orang lain yang lebih dari kita, iri dengki, atau memainkan kartu persaingan yang tidak sehat, ini nafsu.

Itulah contoh-contoh dorongan hawa nafsu yang terkadang sangat halus sehingga sulit kita bedakan dalam praktek hidup. Hubungannya dengan bahasan kita ini adalah, mungkin saja yang menyebabkan kita menjadi workaholic yang tidak sehat itu adalah karena kegagalan kita dalam mengontrol ambisi yang berlebihan, filsafat hedonisme, atau punya subyektivitas pribadi yang berlebihan.


Menjaga Keseimbangan
Kalau kita sepakat melihat workaholic itu sebagai persoalan hidup, maka sebab-sebabnya banyak. Apa yang sudah kita bahas di atas barulah sebagian sebab-sebab yang mungkin. Meski demikian, maksud saya apapun sebabnya, solusi yang bisa kita lakukan adalah menjaga keseimbangan hidup (life-work-balance). Keseimbangan ini adalah kondisi batin (the mind). Bila kita terus belajar mengontrol the mind, maka keseimbangan kita akan semakin bagus.

Terkait dengan keseimbangan ini, beberapa hal yang bisa perlu kita lakukan adalah:

Pertama, merumuskan tujuan atau sasaran di area hidup yang penting. Ini misalnya finansial, karir-usaha, keluarga, sosial, intelektual, spiritual, pendidikan anak, dan lain-lain. Kalau yang beri sasaran itu hanya soal karir dan usaha, sementara keluarga kita biarkan berjalan sendiri, ini berpotensi membuat kita hanya terfokus pada urusan kerja-usaha. Kalau kita hanya punya target pada urusan finansial, sementara spiritual dan intelektual kita terabaikan, ini tidak akan lebih nikmat dibanding dengan ketika kita punya perhatian terhadap target finansial dan target spiritual dan intelektual.

Kata Jim Rohn, untuk siapa saja, terutama bagi kita yang sehari-harinya hidup di lingkungan industri, jangan sampai mengabaikan hal-hal yang spiritual. Kenapa? Katanya, inilah yang akan membedakan kita dan binatang. Spiritual adalah kapasitas tertentu di dalam diri setiap orang yang bertugas mempertanyakan hal-hal yang sangat fundamental dalam hidup. Ini misalnya apa makna hidup saya, kemana langkah hidup saya, dan lain-lain.

Kedua, merumuskan skala prioritas. Dari sekian tujuan atau sasaran yang kita bikin, tentu tidak mungkin semuanya mendapatkan perhatian yang sama. Kata seorang kolomnis di WorlklifeBalance Dot Com (2003), yang dimaksud keseimbangan itu bukan berarti kita menyamakan seluruhnya (equal balance) dengan menyusun jadwal yang ketat dari detik ke detik. Selain bukan itu maksudnya, ini juga tidak realistis. Keseimbangan adalah kemampuan seseorang untuk memberikan perhatian (care) yang proporsional pada area hidup yang penting.

Sekedar untuk memudahkan, area hidup yang penting itu bisa kita jiplak dari temuannya Maslow. Menurut Maslow, area hidup yang penting itu antara lain: urusan Fisiologis, Rasa Aman, Sosial, Penghargaan atau Pengakuan, dan Aktualisasi diri. Untuk pengembangan-diri, area penting ini tidak usah kita bikin hirarki. Misalnya, kita hanya akan mau mengaktualisasikan potensi setelah punya mobil, punya rumah, punya investasi, dan lain-lain. Area yang penting itu bisa kita urusi sekarang juga. Tentunya dengan prioritas masing-masing.

Ketiga, memanfaatkan masalah yang muncul. Menurut konsep Learning-nya Peter Senge, learning itu bisa dibagi menjadi dua, yaitu: a) Generative Learning, dan b) Adaptative Learning. Langkah pertama dan langkah kedua di atas adalah Generative Learning. Jadi kita merumuskan tujuan, membuat skala prioritasnya, dan menjalankannya sepenuh hati.

Bagaimana dengan Adaptative learning? Adaptative ini artinya kita belajar dari masalah yang muncul. Misalnya saja anak kita punya tingkat kenakalan yang lebih dari anak-anak seusianya. Jika hasil refleksi kita menyimpulkan bahwa itu terjadi karena si anak kurang perhatian dari kita, maka refleksi itu perlu kita jalankan. Mungkin selama ini kita baru berperan sebagai orangtua yang memberinya fasilitas fisik tetapi belum berperan sebagai ayah atau ibu yang mestinya bertugas mendidiknya. Intinya, munculnya persoalan itu perlu kita jadikan sinyal untuk memperbaiki diri.

Kata orang bijak, "Life is game". Ada saatnya untuk serius, gembira, santai, bercanda-canda, fokus, dan lain-lain. Bagi yang punya anak kecil atau keponakan atau adik, jangan lupa melupakan waktu bercanda. Saking pentinya bercanda dengan anak kecil itu, sampai-sampai agama perlu mengajari bahwa bercanda untuk menyenangkan hatinya anak kecil itu dihitung sebagi perbuatan yang mendapatkan pahala. Maslow juga bilang di salah satu risalahnya. Kata Maslow, salah satu ciri khas "self-actualized person" itu adalah menyayangi anak-anak dan menghormati yang lebih tua. Ini bisa kita jadikan hiburan agar kita tidak terlalu workaholic.

Menumbuhkan Kreativitas di Tempat Kerja

Anda mungkin sependapat dengan saya bahwa Garin Nugroho, sutradara penuh bakat yang telah meraih berbagai penghargaan di dalam maupun luar negeri, adalah seseorang yang sangat kreatif. Kreativitas beliau dapat terlihat dari karya-karyanya yang cenderung lain dari pada yang biasanya. Ditengah-tengah suasana dunia perfilman dan sinetron Indonesia yang cenderung menonjolkan kemewahan & thema-thema yang jauh dari realitas (dunia mimpi), Garin mampu melahirkan film-film yang berkisah tentang realitas kehidupan dan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, Garin dapat memadukan antara kemampuan mengexplorasi berbagai realitas yang ada ke dunia film/sinetron dengan prinsip-prinsip seni. Sehingga hal-hal yang sederhana menjadi menarik dan penting, meskipun di Indonesia belum banyak orang yang memahami hal itu.

Pertanyaan kita adalah bagaimana seseorang bisa begitu kreatif sementara yang lainnya tidak. Apakah kreativitas dapat dipelajari? Jika ya, bagaimana menumbuhkan kreativitas di tempat kerja?

Menurut para ahli, seseorang yang kreatif selalu melihat segala sesuatu dengan cara berbeda dan baru, dan biasanya tidak dilihat oleh orang lain. Orang yang kreatif, pada umumnya mengetahui permasalahan dengan sangat baik dan disiplin, biasanya dapat melakukan sesuatu yang menyimpang dari cara-cara tradisional. Proses kreativitas melibatkan adanya ide-ide baru, berguna, dan tidak terduga tetapi dapat diimplementasikan.


Tahap-Tahap Kreativitas
Secara umum tahapan kreativitas dapat dibagi dalam 4 tahap: Exploring, Inventing, Choosing dan Implementing.

  1. Exploring. Pada tahap ini pekerja atau businessman mengidentifikasi hal-hal apa saja yang ingin dilakukan dalam kondisi yang ada saat ini. Sekali mereka mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut maka proses kreativitas sudah dimulai.Hal penting yang harus diperhatikan pada saat ini adalah menciptakan iklim yang menunjang proses berpikir
  2. Inventing. Pada tahap ini, sangat penting bagi perusahaan untuk melihat atau mereview berbagai alat, teknik dan metode yang telah dimiliki yang mungkin dapat membantu dalam menghilangkan cara berpikir yang traditional
  3. Choosing. Pada tahap ini perusahaan mengidentifikasi dan memilih ide-ide yang paling mungkin untuk dilaksanakan.
  4. Implementing. Tahap akhir untuk dapat disebut kreatif adalah bagaimana membuat suatu ide dapat diimplementasikan. Seseorang bisa saja memiliki ide cemerlang, tetapi jika ide tersebut tidak dapat diimplementasikan, maka hal itu menjadi sia-sia saja. Sama saja dengan syair lagu "layu sebelum berkembang".


Model Kreativitas

Menurut Charles Prather, dalam bukunya Blueprint for Innovation, gaya atau model kreativitas seseorang bersifat menetap. Prather membagi 2 gaya kreativitas:


  • Adaptive Problem Solving. Orang-orang yang memiliki gaya ini dalam bekerja cenderung menggunakan kreativitas untuk menyempurnakan system dimana mereka bekerja. Hal-hal yang terlihat pada orang yang memiliki gaya ini adalah bahwa mereka akan berusaha sebaik mungkin untuk membuat system menjadi lebih baik, lebih cepat, lebih murah dan efisien. Apa yang mereka lakukan akan dapat dilihat hasilnya secara cepat. Oleh karena itu mereka lebih sering mendapat penghargaan.

  • Innovative Problem Solving. Orang-orang yang memiliki gaya ini dalam bekerja cenderung untuk menantang dan mengubah sistem yang sudah ada. Mereka dapat disebut sebagai "agent of change" karena lebih memfokuskan pada penemuan sistem baru daripada menyempurnakan yang sudah ada. Dalam perusahaan mereka dapat dilihat pada bagian-bagian yang melakukan riset, penciptaan produk baru, mengantisipasi kebutuhan pelanggan tanpa diminta, dan orang-orang yang menjaga kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan datang.


Hambatan untuk Berpikir Kreatif

Meskipun kreativitas dan inovasi sangat dihargai di banyak perusahaan, namun hal tersebut tidak selalu dikomunikasi kepada para pegawainya. Perusahaan bahkan seringkali tidak memberikan ruang gerak bagi para pekerjanya untuk berkreasi dan berinovasi. Banyak perusahaan di Indonesia merupakan contoh dimana ide-ide kreatif hanya berakhir diruang-ruang rapat semata.

Hambatan lain yang mengganggu kreativitas adalah jika pekerjaan yang kita jalani tidak sesuai dengan minat dan bakat yang kita miliki. Selain itu gaya kreativitas yang dimiliki tidak "match" dengan tuntutan pekerjaan sehari-hari. Contoh: gaya kreativitas Anda adalah sebagai "agent of change" tetapi pekerjaan Anda lebih bersifat rutin, mekanistik dan menuntut anda untuk melakukannya sesuai dengan aturan atau prosedur yang sudah baku.

Hambatan lain datang dari unsur psikologis. Untuk menjadi kreatif seseorang harus berani untuk dinilai aneh oleh orang lain. Lihat saja para penemu dan seniman-seniman besar yang pada saat menciptakan karyanya seringkali dianggap "gila". Nah, karena itu tidak semua pegawai siap untuk berbeda pendapat/ide dengan orang lain meskipun ide tersebut kemudian terbukti benar. Pola pendidikan kita yang kurang mendorong adanya variasi atau perbedaan pendapat juga sangat mendukung kurangnya kreativitas pegawai.

Stress Kerja

Perkembangan ekonomi yang cepat, perampingan perusahaan, PHK, merger dan bangkrutnya beberapa perusahaan sebagai akibat dari krisis yang berkepanjangan telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi ribuan bahkan jutaan tenaga kerja. Mereka harus rela dipindahkan kebagian yang sangat tidak mereka kuasai dan tidak tahu berapa lama lagi mereka akan dapat bertahan atau dipekerjakan. Selain itu mereka harus menghadapi boss baru, pengawasan yang ketat, tunjangan kesejahteraan berkurang dari sebelumnya, dan harus bekerja lebih lama dan lebih giat demi mempertahankan status sosial ekonomi keluarga. Para pekerja di setiap level mengalami tekanan dan ketidakpastian. Situasi inilah yang seringkali memicu terjadinya stress kerja.

Hasil Penelitian
Menurut penelitian Baker dkk (1987), stress yang dialami oleh seseorang akan merubah cara kerja sistem kekebalan tubuh. Para peneliti ini juga menyimpulkan bahwa stress akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah fighting desease cells. Akibatnya, orang tersebut cenderung sering dan mudah terserang penyakit yang cenderung lama masa penyembuhannya karena tubuh tidak banyak memproduksi sel-sel kekebalan tubuh, ataupun sel-sel antibodi banyak yang kalah.

Dua orang peneliti yaitu Plaut dan Friedman (1981) berhasil menemukan hubungan antara stress dengan kesehatan. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa stress sangat berpotensi mempertinggi peluang seseorang untuk terinfeksi penyakit, terkena alergi serta menurunkan sistem autoimmune-nya. Selain itu ditemukan pula bukti penurunan respon antibodi tubuh di saat mood seseorang sedang negatif, dan akan meningkat naik pada saat mood seseorang sedang positif.

Peneliti yang lain yaitu Dantzer dan Kelley (1989) berpendapat tentang stress dihubungkan dengan daya tahan tubuh. Katanya, pengaruh stress terhadap daya tahan tubuh ditentukan pula oleh jenis, lamanya, dan frekuensi stress yang dialami seseorang. Peneliti lain juga mengungkapkan, jika stress yang dialami seseorang itu sudah berjalan sangat lama, akan membuat letih health promoting response dan akhirnya melemahkan penyediaan hormon adrenalin dan daya tahan tubuh.
Banyak sudah penelitian yang menemukan adanya kaitan sebab-akibat antara stress dengan penyakit, seperti jantung, gangguan pencernaan, darah tinggi, maag, alergi, dan beberapa penyakit lainnya. Oleh karenanya, perlu kesadaran penuh setiap orang untuk mempertahankan tidak hanya kesehatan dan keseimbangan fisik saja, tetapi juga psikisnya.


Apakah Stress Kerja?

Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka dikatakan bahwa individu itu mengalami stress kerja. Namun apakah sebenarnya yang dikategorikan sebagai stress kerja? Menurut Phillip L. Rice, Penulis buku Stress and Health, seseorang dapat dikategorikan mengalami stress kerja jika :

  • Urusan stress yang dialami melibatkan juga pihak organisasi atau perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke rumah dapat juga menjadi penyebab stress kerja
    Mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan dan juga individu
    Oleh karenanya diperlukan kerja sama antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan persoalan stress tersebut.


Sumber Stress

Untuk memahami sumber stress kerja, kita harus melihat stress kerja ini sebagai interaksi dari beberapa faktor, yaitu stress di pekerjaan itu sendiri sebagai faktor eksternal, dan faktor internal seperti karakter dan persepsi dari karyawan itu sendiri. Dengan kata lain, stress kerja tidak semata-mata disebabkan masalah internal, sebab reaksi terhadap stimulus akan sangat tergantung pada reaksi subyektif individu masing-masing. Beberapa sumber stress yang menurut Cary Cooper (1983) dianggap sebagai sumber stress kerja adalah stress karena kondisi pekerjaan, masalah peran, hubungan interpersonal, kesempatan pengembangan karir, dan struktur organisasi.

Kondisi Pekerjaan

  1. Lingkungan Kerja. Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah jatuh sakit, mudah stress, sulit berkonsentrasi dan menurunnya produktivitas kerja. Bayangkan saja, jika ruangan kerja tidak nyaman, panas, sirkulasi udara kurang memadai, ruangan kerja terlalu padat, lingkungan kerja kurang bersih, berisik, tentu besar pengaruhnya pada kenyamanan kerja karyawan.
  2. Overload. Sebenarnya overload ini dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam "tegangan tinggi". Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit, sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan.
  3. Deprivational stress. George Everly dan Daniel Girdano (1980), dua orang ahli dari Amerika memperkenalkan istilah deprivational stress untuk menjelaskan kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur sosial (kurangnya komunikasi sosial).
  4. Pekerjaan Berisiko Tinggi. Ada jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, atau berbahaya bagi keselamatan, seperti pekerjaan di pertambangan minyak lepas pantai, tentara, pemadam kebakaran, pekerja tambang, bahkan pekerja cleaning service yang biasa menggunakan gondola untuk membersihkan gedung-gedung bertingkat. Pekerjaan-pekerjaan ini sangat berpotensi menimbulkan stress kerja karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan.


Konflik Peran

Ada sebuah penelitian menarik tentang stress kerja menemukan bahwa sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar, atau yang kurang memiliki struktur yang jelas, mengalami stress karena konflik peran. Mereka stress karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu apa yang diharapkan oleh manajemen (Rice, 1992). Kenyataan seperti ini mungkin banyak dialami pekerja di Indonesia, dimana perusahaan atau organisasi tidak punya garis-garis haluan yang jelas, aturan main, visi dan misi yang seringkali tidak dikomunikasikan pada seluruh karyawannya. Akibatnya, sering muncul rasa ketidakpuasan kerja, ketegangan, menurunnya prestasi hingga akhirnya timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.
Para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stress lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Terutama dalam alam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita karir yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stress.


Mengatasi Stress Kerja

  • Stress kerja sekecil apapun juga harus ditangani dengan segera. Seorang ahli terkenal di bidang kesehatan jiwa, Jere Yates (1979,) mengemukakan ada delapan (8) aturan main yang harus diikuti dalam mengatasi stress yaitu:
    Pertahankan kesehatan tubuh Anda sebaik mungkin, usahakan berbagai cara agar anda tidak jatuh sakit
    Terimalah diri Anda apa adanya, segala kekurangan dan kelebihan, kegagalan maupun keberhasilan sebagai bagian dari kehidupan Anda
    Tetaplah memelihara hubungan persahabatan yang indah dengan seseorang yang Anda anggap paling bisa diajak curhat
    Lakukan tindakan positif dan konstruktif dalam mengatasi sumber stress Anda di dalam pekerjaan, misalnya segera mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam pekerjaan
    Tetaplah memelihara hubungan sosial dengan orang-orang di luar lingkungan pekerjaan Anda, misalnya dengan tetangga atau kerabat dekat
    Berusahalah mempertahankan aktivitas yang kreatif di luar pekerjaan, misalnya berolahraga atau berekreasi
    Melibatkan diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang berguna, misalnya kegiatan sosial dan keagamaan
    Gunakanlah metode analisa yang cukup ilmiah dan rasional dalam melihat atau menganalisa masalah stress kerja Anda

 
template by : uniQue  |    modified by : your name