Kamis, 27 September 2007

Membedakan Workaholic & Bekerja Keras

Kerja Keras & Workaholic
Apakah kita seorang workaholic? Jawabannya memang agak susah. Kenapa? Karena terkadang susah membedakan antara bekerja keras dan maniak kerja (workaholic). Bahkan, menurut beberapa peneliti, yang bersangkutan sendiri jarang tahu atau jarang sadar. Secara umum orang mengatakan workaholic itu tidak sehat (negatif), sementara bekerja keras itu sehat (positif).

Kalau membaca definisi yang ditawarkan kamus-kamus bahasa Inggris, umumnya workaholic itu mengandung unsur "compulsive" atau "addictive". Compulsive sendiri bisa digambarkan seperti seolah-olah ada tekanan atau paksaan batin di dalam diri seseorang untuk terus bekerja. Sedangkan addictive itu ya kecanduan atau ketagihan (umumnya dikonotasikan) oleh hal-hal negatif, seperti misalnya rokok, narkoba, dan lain-lain.

Dari beberapa literatur yang saya baca, ciri-ciri umum yang dominan dari seseorang yang keranjingan kerja (workaholic) itu, antara lain di bawah ini:

Workaholic itu mengabaikan hal-hal lain yang penting dalam hidup menurut ukuran normalnya manusia. Hal-hal yang penting itu misalnya keluarga, kesehatan, anak, istri atau suami, dan semisalnya. Nilai apapun di dunia ini menggariskan bahwa keluarga itu adalah sesuatu yang penting bagi manusia. Jika kita punya kebiasaan kerja yang membuat kita melupakan keluarga, itu berarti perlu kita waspadai jangan-jangan yang kita lakukan bukan bekerja keras, melainkan workaholic.

Workaholic itu susah mendelegasikan tugasnya atau pekerjaannya kepada orang lain. Ini ditulis oleh kolomnis Career Journal Dot Com, Dana Mattioli, (2007). Orang yang tidak bisa mendelegasikan pekerjaannya kepada orang lain pada porsi dan kondisi yang memang harus / bisa didelegasikan itu umumnya adalah orang yang tidak bisa mempercayai orang lain dengan alasan-alasan yang kurang ada faktanya. Bisa juga mungkin karena too much perfectionism. Segala sesuatu yang mengandung unsur "too much" ini juga tidak sehat secara emosi.

Workaholic itu hanya merasa "terlalu asyik" dengan pekerjaan, tetapi tidak jelas apa yang dikerjakan dan apa yang ingin diraih dengan pekerjaannya itu. Ada yang mengamati bahwa workaholic itu tidak terang-terangan mengatakan apa yang dikerjakan dan pekerjaannya. Bahkan ada yang mengatakan workaholic itu tidak bisa meneguk kebahagian dari pekerjaannya.

Ini yang menurut hemat saya perbedaan yang perlu disadari bedanya. Orang yang bekerja keras memang asyik dengan pekerjaannya, namun keasyikannya itu sangat berasalan. Alasannya adalah untuk merealisasikan target-target yang dinamis. Siapapun yang membaca riwayat hidup Edison akan menyimpulkan Edison sebagai pekerja keras: membaca, bereksperimentasi, bertemu dengan orang lain, dan lain-lain. Nasehat Edison yang sangat tepat di sini adalah: "Jangan hanya menenggelamkan diri pada kesibukan tetapi lupa menanyakan tujuan dari kesibukan itu."

Kalau membaca buku yang ditulis Charles Garfield (1986), Peak Performer, memang klop. Charles menceritakan hasil observasinya terhadap sejumlah sosok yang tiba-tiba hebat di belantara bisnis di Amerika. Observasinya menyimpulkan ada enam atribut yang dimiliki oleh sosok yang dia bilang tiba-tiba hebat itu (the new heroes of American business). Keenam atribut itu adalah:

- Punya misi yang benar-benar menggerakkannya untuk melakukan aksi
- Punya sasaran yang jelas-jelas ingin diraihnya dari setiap aksi
- Punya kemampuan "self-management" yang bagus dengan mengoptimalkan kapasitas personalnya
- Punya kemampuan yang bagus dalam team building
- Punya kemampuan yang bagus dalam mengoreksi tindakannya
- Punya kemampuan yang bagus dalam menyiasati / beradaptasi dengan perubahan


Ciri-ciri workaholic lain yang mungkin juga perlu dikenali adalah:
- Kita tidak memiliki batasan mental yang jelas antara urusan rumah dan urusan kantor
- Dimanapun kita berada, yang menjadi top priority di kepala kita adalah urusan pekerjaan
- Kebahagian kita hanya terasakan ketika bersentuhan dengan pekerjaan
- Kita merasa stress dengan urusan pekerjaan
- Kita tidak tertarik dengan hal-hal yang berbau fun atau entertainment karena urusan pekerjaan
- Kita memikirkan pekerjaan meskipun kita sedang liburan

Salah satu kunci penting untuk menilai diri apakah kita ini seorang pekerja keras atau sudah workaholic itu adalah keseimbangan. Inilah prinsip hidup yang sudah menjadi hukum, baik untuk manusia atau alam. Artinya, segala sesuatu yang sudah menganggu keseimbangan kita sebagai makhluk yang normal, itu berarti ada sesuatu yang perlu diluruskan. Kata seorang ahli hikmah, segala sesuatu yang sudah berlebihan (too much), biasanya akan memantulkan kebalikannya. Kerja keras itu bagus, tetapi terlalu kerja keras (workaholic), itu berpotensi tidak bagus.


Sebab-sebab
Apa yang menyebabkan kita punya kebiasaan workaholic? Kalau dijelaskan secara detail dan spesifik mungkin banyak. Di sini saya hanya akan menyentuh sebab-sebab umum saja. Bicara soal sebab-sebab umum ini, hal-hal yang perlu kita lihat antara lain adalah:

Pertama, pelampiasan / pelarian. Pekerjaan bagi orang yang bekerja keras adalah aktualisasi-diri. Istilah agamanya disebut ibadah. Pekerjaan dipahami sebagai ruangan untuk menunjukkan kebolehan, karya, atau aktualisasi potensi. Tapi, untuk sebagian orang yang terkena workaholic, pekerjaan itu dipahami sebagai pelampiasan yang paling aman atau pelarian dari persoalan hidup yang "kurang membahagiakan" di tempat lain. Bisa saja orang melampiaskan ketidakbahagiannya dengan keluarga pada pekerjaan. Karena tidak menemukan kebahagian di tengah keluarga, orang itu lantas berpikir keluarga bukanlah sesuatu yang penting.

Kedua, tidak bahagia dengan pekerjaan. Lho apa mungkin terjadi? Ini sangat mungkin terjadi. Karakteristik yang paling menonjol dari orang yang bahagia dengan pekerjaannya adalah adanya dinamika yang progresif di dalam batinnya. Ini sama seperti orang yang bahagia dengan dirinya. Orang yang bahagia dengan pekerjaannya itu punya target, sasaran, atau tujuan-tujuan yang dinamis. Bila suatu target sudah tercapai, ada target lain lagi yang ingin dicapainya secara bertahap.

Ini agak beda dengan sebagian orang yang terkena workaholic. Mungin karena tidak menemukan kejelasan di pikiran tentang apa yang ingin dicapainya, bagaimana mencapainya, apa yang harus dilakukan untuk mencapainya, akhirnya semua "kebingungan" itu dilampiaskan ke dalam aktivitas yang bertujuan hanya untuk beraktivitas. Inilah alasan kenapa workaholic itu mengandung unsur compulsive atau addictive.

Dari penjelasan pakar di bidang karir yang saya tangkap, orang yang tidak punya dinamika batin yang dinamis terhadap pekerjaannya akan mengalami dua kemungkinan. Secara batin, kemungkinan pertama adalah batin yang bergejolak. Ini ditunjukkan ke dalam bentuk keinginan untuk pindah profesi atau pekerjaan tanpa alasan yang jelas. Kemungkinan kedua adalah batin yang sudah apatis, masa bodoh, pasrah pada realitas.

Ketiga, kalah oleh nafsu. Tidak semua orang yang terkena workaholic itu tidak bahagia dengan pekerjaannya atau profesinya. Tidak semua juga karena ada unsur pelampiasan. Bisa jadi ada yang karena kalah oleh nafsu. Nafsu sendiri itu apa? Nafsu diambil dari bahasa Arab (Nafs). Artinya ada dua, yaitu: jiwa (the self) dan nafsu dalam arti hawa nafsu. Hawa sendiri artinya keinginan atau jatuh dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.

Meminjam istilah yang dipakai oleh Prof. Nurcholish Madjid (1993), hawa nafsu itu adalah keinginan-diri yang di dalam bahasa ilmu pengetahuannya disebut subyektivitas pribadi yang berlebihan. Berlebihan di sini batasannya adalah sudah mengalahkan pertimbangan akal sehat atau sudah mengalahkan suara-suara kesadaran positif.

Terminologi lain yang kira-kira sama pengertiannya dengan hawa nafsu adalah setan atau suara setan. Setan sendiri punya dua pengertian. Ada setan dalam pengertian makhluk dan ada setan dalam pengertian energi negatif yang tidak sanggup kita kontrol. Secara bahasa, setan (Arab: syaiton) sendiri artinya adalah sesuatu yang menjauhkan kita dari kebaikan.

Kalau melihat literatur Psikologi, ada penjelasan yang kira-kira isinya sama. Ini misalnya penjelasan milik Freud di mana manusia itu ada Id-nya, ada Ego-nya dan ada Super Ego-nya. Id adalah dorongan (motive and drive) yang hanya mementingkan kesenangan dan kebanyakan melawan suara Super Ego. Super Ego adalah dorongan yang telah dibimbing oleh nilai-nilai, norma, dan keteladanan orang lain. Id umumnya memiliki dua insting, yaitu: a) Eros: Insting seseorang yang memotivasi untuk mendapatkan kesenangan (pleasure principle), b) Thanatos: Insting yang memotivasi seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan agresif yang berpotensi merusak (Freud's Personality Factor, www. changingmind.org)

Terkait dengan hawa nafsu itu, bentuk-bentuk subyektivitas pribadi yang gagal kita kontrol itu misalnya antara lain:

- Ambisi yang berlebihan untuk mendapatkan sesuatu. Punya motivasi yang kuat untuk merealisasikan visi hidup atau bekerja keras, ini positif atau suara Tuhan. Tapi, ambisi yang berlebihan sampai membuat kita melupakan hal-hal penting adalah hawa nafsu atau suara setan. Ini karena akan menjauhkan kita dari kebaikan.

- Filsafat hidup hedonis yang berlebihan (larut pada gemerlapnya dunia). Mengoptimalkan penggunaan resources yang sudah ada di depan mata untuk merealisasikan kesejahteraan hidup yang kita impikan adalah positif, suara akal sehat, atau suara Tuhan. Mengatur ritme hidup dengan berekreasi atau menikmati weekend sebagai upaya untuk mempositifkan pikiran adalah positif. Tapi, berfoya-foya atau hedonisme yang berlebihan adalah negatif atau suara nafsu.

- Mengejar target pribadi untuk menjadi the best di bidang kita berdasarkan kompetensi yang kita miliki, tentu ini positif. Inilah yang diperintahkan Tuhan. Tapi, memunculkan naluri kesombongan dalam bentuk misalnya kita tidak rela ada orang lain yang lebih dari kita, iri dengki, atau memainkan kartu persaingan yang tidak sehat, ini nafsu.

Itulah contoh-contoh dorongan hawa nafsu yang terkadang sangat halus sehingga sulit kita bedakan dalam praktek hidup. Hubungannya dengan bahasan kita ini adalah, mungkin saja yang menyebabkan kita menjadi workaholic yang tidak sehat itu adalah karena kegagalan kita dalam mengontrol ambisi yang berlebihan, filsafat hedonisme, atau punya subyektivitas pribadi yang berlebihan.


Menjaga Keseimbangan
Kalau kita sepakat melihat workaholic itu sebagai persoalan hidup, maka sebab-sebabnya banyak. Apa yang sudah kita bahas di atas barulah sebagian sebab-sebab yang mungkin. Meski demikian, maksud saya apapun sebabnya, solusi yang bisa kita lakukan adalah menjaga keseimbangan hidup (life-work-balance). Keseimbangan ini adalah kondisi batin (the mind). Bila kita terus belajar mengontrol the mind, maka keseimbangan kita akan semakin bagus.

Terkait dengan keseimbangan ini, beberapa hal yang bisa perlu kita lakukan adalah:

Pertama, merumuskan tujuan atau sasaran di area hidup yang penting. Ini misalnya finansial, karir-usaha, keluarga, sosial, intelektual, spiritual, pendidikan anak, dan lain-lain. Kalau yang beri sasaran itu hanya soal karir dan usaha, sementara keluarga kita biarkan berjalan sendiri, ini berpotensi membuat kita hanya terfokus pada urusan kerja-usaha. Kalau kita hanya punya target pada urusan finansial, sementara spiritual dan intelektual kita terabaikan, ini tidak akan lebih nikmat dibanding dengan ketika kita punya perhatian terhadap target finansial dan target spiritual dan intelektual.

Kata Jim Rohn, untuk siapa saja, terutama bagi kita yang sehari-harinya hidup di lingkungan industri, jangan sampai mengabaikan hal-hal yang spiritual. Kenapa? Katanya, inilah yang akan membedakan kita dan binatang. Spiritual adalah kapasitas tertentu di dalam diri setiap orang yang bertugas mempertanyakan hal-hal yang sangat fundamental dalam hidup. Ini misalnya apa makna hidup saya, kemana langkah hidup saya, dan lain-lain.

Kedua, merumuskan skala prioritas. Dari sekian tujuan atau sasaran yang kita bikin, tentu tidak mungkin semuanya mendapatkan perhatian yang sama. Kata seorang kolomnis di WorlklifeBalance Dot Com (2003), yang dimaksud keseimbangan itu bukan berarti kita menyamakan seluruhnya (equal balance) dengan menyusun jadwal yang ketat dari detik ke detik. Selain bukan itu maksudnya, ini juga tidak realistis. Keseimbangan adalah kemampuan seseorang untuk memberikan perhatian (care) yang proporsional pada area hidup yang penting.

Sekedar untuk memudahkan, area hidup yang penting itu bisa kita jiplak dari temuannya Maslow. Menurut Maslow, area hidup yang penting itu antara lain: urusan Fisiologis, Rasa Aman, Sosial, Penghargaan atau Pengakuan, dan Aktualisasi diri. Untuk pengembangan-diri, area penting ini tidak usah kita bikin hirarki. Misalnya, kita hanya akan mau mengaktualisasikan potensi setelah punya mobil, punya rumah, punya investasi, dan lain-lain. Area yang penting itu bisa kita urusi sekarang juga. Tentunya dengan prioritas masing-masing.

Ketiga, memanfaatkan masalah yang muncul. Menurut konsep Learning-nya Peter Senge, learning itu bisa dibagi menjadi dua, yaitu: a) Generative Learning, dan b) Adaptative Learning. Langkah pertama dan langkah kedua di atas adalah Generative Learning. Jadi kita merumuskan tujuan, membuat skala prioritasnya, dan menjalankannya sepenuh hati.

Bagaimana dengan Adaptative learning? Adaptative ini artinya kita belajar dari masalah yang muncul. Misalnya saja anak kita punya tingkat kenakalan yang lebih dari anak-anak seusianya. Jika hasil refleksi kita menyimpulkan bahwa itu terjadi karena si anak kurang perhatian dari kita, maka refleksi itu perlu kita jalankan. Mungkin selama ini kita baru berperan sebagai orangtua yang memberinya fasilitas fisik tetapi belum berperan sebagai ayah atau ibu yang mestinya bertugas mendidiknya. Intinya, munculnya persoalan itu perlu kita jadikan sinyal untuk memperbaiki diri.

Kata orang bijak, "Life is game". Ada saatnya untuk serius, gembira, santai, bercanda-canda, fokus, dan lain-lain. Bagi yang punya anak kecil atau keponakan atau adik, jangan lupa melupakan waktu bercanda. Saking pentinya bercanda dengan anak kecil itu, sampai-sampai agama perlu mengajari bahwa bercanda untuk menyenangkan hatinya anak kecil itu dihitung sebagi perbuatan yang mendapatkan pahala. Maslow juga bilang di salah satu risalahnya. Kata Maslow, salah satu ciri khas "self-actualized person" itu adalah menyayangi anak-anak dan menghormati yang lebih tua. Ini bisa kita jadikan hiburan agar kita tidak terlalu workaholic.

0 komentar:

 
template by : uniQue  |    modified by : your name